Sabtu, 21 April 2012

Bedah Buku: Tangan-Tangan Amerika, Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia

Penulis : M. Arief Pranoto, Research Associate GFI

I.  PENDAHULUAN

Buku ini cukup menarik, karena memberikan perspektif baru dalam mencermati sepak-terjang para adidaya terutama Amerika Serikat (AS) selaku negara superpower di muka bumi, sehingga kita mampu meraba kharakter dan kemana arah politik luar negeri yang ditempuh oleh AS selama ini.
Menelaah buku ini, membuat semakin paham garis kebijakan politik Paman Sam yang ternyata tidak jauh dari watak ideologinya. Tujuan utama kaum kapitalis adalah akumulasi modal. Itulah watak dasar kapitalisme yang dianut AS dan para sekutu, dimana ekspresi serta implementasi watak tersebut melalui methode: (1) mencari bahan baku semurah-murahnya, dan (2) mengurai atau menciptakan pasar seluas-luasnya.

Dengan demikian, bila terdapat negara yang “ditarget” menolak membuka pasar atau menyediakan bahan baku murah, maka berbagai kekuatan dengan beragam cara dan modus (operandi) bakal menekan pemimpin negeri tersebut, jika perlu melalui kudeta bahkan perang sekalipun. Tampaknya, hal ini menjadi alasan pokok kenapa politik AS selain agresif ingin menguasai negara-negara lain baik secara politik maupun ekonomi, juga selalu melakukan pertempuran di luar kawasan negaranya sendiri. 

Sebuah literatur bertajuk Killing Hope: US Military and CIA Intervention Since World War II karya William Blum mengungkap, bahwa dalam sejarah perang modern, AS memiliki rekor tertinggi sebagai negara agresor. Blum menyebut, pasca kemerdekaan tahun 1776-an, Amerika aktif melancarkan arus pertempuran militer dan mengobarkan sembilan perang besar. Ada sekitar 200-an kali atau lebih penyerbuan angkatan bersenjata ia ciptakan. Dan terhitung sejak 1977 - 1993 tercatat mengirim serdadu-serdadu guna menyerbu 32-an wilayah di luar negaranya.

Data sekilas perihal agresi militer di atas,  semakin dramatis tatkala Hendrajit dkk mengungkap juga invasi militer AS dan para sekutu ke Afghanistan (2001) dan Iraq (2003) yang hingga kini (2011) belum juga usai. Hanya saja penyerbuan AS dan NATO ke Libya serta intervensi terhadap jajaran Kelompok Negara di Jalur Sutra (Timur Tengah dan Afrika Utara) tidak diungkap, karena memang sewaktu buku dibuat peristiwa tersebut belum terjadi.

Sangat beralasan manakala Hendrajit, Direktur  Eksekutif Global Future Institute (GFI) selaku ketua tim pembuatan buku ini menulis pada pengantarnya, bahwa tujuan penerbitan buku ini ialah:

Pertama, untuk membaca ulang serangkaian kejadian masa silam sebagai sarana  untuk menemukan makna baru dari peristiwa sejarah, sekaligus menarik pelajaran bagi masa depan.

Kedua, buku ini dimaksudkan untuk melakukan rekonstruksi sejarah terkait campur-tangan AS di sejumlah negara periode 1953-2003 di berbagai kawasan.

Ketiga, sebagai kajian hubungan internasional yang memang menjadi fokus utama kegiatan GFI.

Menurut hemat saya, penuangan materi buku ini relatif cerdas dan visioner karena merupakan studi eksploratif yang bersinggungan secara simultan dengan isue-isue strategis skala global di bidang politik luar negeri, ekonomi, politik, geopolitik dan geostrategi serta keamanan nasional suatu bangsa.

Saya katakan cerdas dan visioner, oleh karena selain mengkaji sebab-musabab “nafsu” AS menguasai geopolitik dan geostrategi negara-negara lain, khususnya di dunia ketiga, juga mengungkap fakta pada satu sisi, bahwa tidak sedikit negara-negara sangat mudah digulingkan, seperti Juan Arbenz Guzman, Presiden Guatemala (1954), Mohammad Mossadeq, Perdana Menteri (PM) Iran (1953), dan Salvador Allende, Presiden Chili (1973);  akan tetapi di satu sisi, AS justru menjumpai kendala ketika hendak menjatuhkan Fidel Castro, Presiden Kuba; Ayatullah Khomeini dari Iran dan Hugo Chavez, Presiden Venezuela dan lainnya.

Hikmah yang dapat ditarik melalui bedah buku ini cukup informatif, karena memberi perspektif lain dalam memahami karakteristik dan sepak-terjang AS sebagai negara imperialis, yaitu bahwa suatu negara atau pemerintahan hanya bisa bertahan dan tetap berdiri kokoh manakala para pemimpinnya memiliki pilar-pilar antara lain: (1) legitimasi yang kuat dari rakyatnya, (2) adanya akar dukungan nyata dari rakyat, dan (3) adanya ketahanan nasional/budaya (local wisdom) yang kuat sebagai entitas masyarakat maupun bangsa.

Simpulan Hendrajit dkk menyarankan, bahwa setiap negara seyogyanya memiliki tiga pilar kemandirian berbangsa dan bernegara, atau setidak-tidaknya salah satu di antaranya, syukur-syukur mempunyai kombinasi dari ketiganya, agar negara-negara berkembang bisa bertahan atau bahkan mampu tumbuh dan terus berkembang di tengah-tengah serbuan kaum kapitalis atau imperialis asing dengan berbagai pola dan modus, seperti “perlawanan” yang dilakukan oleh Republik Islam Iran, Bolivia, Venezuela, Kuba dan lainnya. 

II. SISI GELAP KORPORASI GLOBAL DALAM PENGGULINGAN KEKUASAAN PEMERINTAH DI NEGARA-NEGARA BERKEMBANG

Menggusur Arbenz di Guatamela tahun 1954
Aspek yang layak dicermati adalah terungkapnya peran beberapa korporasi milik Amerika di balik kudeta-kudeta kekuasaan beberapa pemimpin negara di dunia ketiga, karena dianggap tak sejalan dengan kepentingan-kepentingan strategisnya di bidang ekonomi dan bisnis. Itulah sisi gelap korporasi global.

Adalah kudeta di Guatamela dekade 1954-an merupakan prakarsa serta peran dari United Fruit Company (UFC) milik AS ketika Pemerintahan Guatamela berhaluan nasionalis kerakyatan di bawah kepemimpinan  Arbenz Guzman. Betapa tidak, Guzman menjadi pemenang dalam pemilu  demokratis pada tahun 1950-an. Ia memiliki rencana-rencana kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial, dimana salah satunya ialah land-reform bertujuan meningkatkan taraf hidup kaum petani miskin di negerinya via program yang dikenal sebagai Decree 900.

Tak bisa dipungkiri, Kebijakan Decree 900 disambut rakyat kalangan bawah secara antusias. Mereka mendukung serta menaruh harapan pada arah kebijakan Arbenz; namun sebaliknya, para elit pemilik tanah menganggap bahwa kebijakan tersebut justru sebagai ancaman serius terhadap kepentingan mereka. Dan agaknya, kegusaran para tuan tanah di Guatemala, “diolah” Washington terutama ketika Arbenz hendak menasionalisasi perusahaan multi-nasional UFC. Inilah yang memicu mengapa Gedung Putih melancarkan operasi menggusur Arbenz. 

Singkat cerita, Arbenz dituduh dan distigma sebagai “antek komunis” lalu dikudeta secara gilang-gemilang dekade 1954-an. Keterlibatan UFC dalam penggulingan Arbenz terlihat pasca kejadian, ketika Menteri Luar Negeri AS, John Foster Dulles beserta adiknya Allen Dulles yang juga Direktur CIA, ternyata memiliki saham dalam perusahaan tersebut. Akhirnya sebagai imbalan, UFC mendapat konsesi penguasaan tanah di Guatemala seluas 150 ribu hektar atau setara dengan 600 km.

Yang menarik lagi tatkala ditelusur sampai akarnya, perusahaan ini, selain milik dari dinasti John D Rockefeller yang bergerak dalam sektor perkebunan pisang dan nanas --dua jenis unggulan komparatif-- di Guatemala, memiliki  dua anak perusahaan yaitu International Railways of Central America dan Empress Electrica, ternyata UFC memiliki reputasi buruk sebab sering mengeksploitasi tenaga kerja, suka “ngemplang” (penggelapan) pajak dan penyuapan.

Dan tragisnya lagi, tahun 1928-an UFC menindas protes buruh yang menuntut kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja hingga mengakibat 2000-an pekerja tewas. Akhirnya, perusahaan yang berdiri pada 1899 ini, pada tahun 1970 berganti nama menjadi United Brands Company –kemungkinan untuk menghilangkan jejak-- setelah sebagian sahamnya dijual kepada Eli M Black.

Melengserkan Mohammad Mossadeq di Iran tahun 1953
Keputusan bersama Inggris-Amerika menggusur Mossadeq bermula ketika PM Iran tersebut mempunyai gagasan untuk melepaskan ketergantungan Iran pada perusahaan-perusahaan minyak asing, termasuk ingin menasionalisasi AIOC, perusahaan patungan antara Inggris-Amerika dan Iran. Sudah barang tentu kebijakan tersebut mendapat dukungan luas dari berbagai elemen strategis di Iran.

Gerakan Mossadeq membuat Inggris marah sehingga beberapa kali ia melakukan blockade pengiriman minyak Amerika ke luar negeri. Hanya saja, pada fase ini Inggris sebatas melakukan boycott dan embargo terhadap Iran. Namun pada perkembangan selanjutnya, Inggris mulai melibatkan AS sehingga akhirnya disepakati persekutuan keduanya (Inggris – AS) untuk menggulingkan Mossadeq. Setelah berhasil digusur pada 1953-an, ia diganti oleh Shah Reza Pahlevi, lalu sebagian tuntutan nasionalisasi yaitu profit sharing 50% : 50% disetujui AOIC yang kala itu sudah tak lagi memegang monopoli eksploitasi dan ekspor minyak Iran.

Agaknya AS berperan besar dalam kesepakatan baru ini, karena setelah itu AOIC diubah menjadi semacam konsorsium yang didalamnya terdapat lima  perusahaan minyak Amerika pemegang saham mayoritas lalu mengendalikan eksploitasi minyak. Meski laporan keuangan konsorsium sulit diketahui publik tetapi aktivitas menyedot minyak dari bumi Iran oleh konsorsium ditengarai telah meraup keuntungan jutaan dolar.

Tetapi pada dekade 1979-an, atau tepatnya 26 tahun pasca Mossadeq jatuh, Shah Reza Pahlevi yang merupakan kaki tangan AS digulingkan melalui revolusi Islam. Dan sejak saat itu, pihak Negara Barat terutama AS dinyatakan sebagai musuh nomor satu bagi bangsa Iran.

Mendongkel Soekarno tahun 1965

Indonesia pun ternyata tidak luput dari operasi siluman Paman Sam setelah Presiden Indonesia pertama memperlihatkan sikap netral dalam Perang Dingin antara AS - Uni Soviet, bahkan hebatnya Soekarno berniat menasionalisasi beberapa perusahaan AS di Indonesia. 

Disini terlihat peran Augustus C. Long, eksekutif Texaco milik D Rockefeller merupakan personifikasi yang terlibat berbagai kepentingan bisnis di Washington dalam skenario mengganti Sukarno dengan presiden baru yang pro Amerika. Singkatnya cerita, secara tiba-tiba Augustus C. Long pada April 1964 pensiun dari Texaco, kemudian untuk beberapa saat memimpin sebuah bank kecil bernama Chemical Bank milik dinasti Rockefeller.

Setelah itu, secara mengejutkan C. Long dilantik oleh Presiden Lyndon B Johnson menjabat Ketua Dewan Penasehat Presiden bidang Intelijen Luar Negeri,  dimana ruang kerjanya bersebelahan dengan Presiden Johnson di Gedung Putih. Dewan Penasehat adalah suatu jabatan strategis yang memungkinkan “perannya” pada masa-masa kritis dekade 1965-an di Indonesia.

Setelah keruntuhan Soekarno pada 1966-an, Long secara mengejutkan diaktifkan kembali sebagai salah satu eksekutif Texaco. Suatu bukti bahwa cuti panjang C. Long sejak 1964 dari Texaco, semata-mata untuk menjalankan “misi khusus” melalui jabatannya sebagai Ketua Dewan Penasehat Presiden untuk Intelijen Luar Negeri.

Hanya dua tahun pasca Sukarno terguling, yaitu tahun 1967, diadakan Indonesian Investment Conference di Swiss yang membagi-bagi sumber daya alam Indonesia untuk dikelola oleh perusahaan-perusahaan asing. Konferensi ini dihadiri para pebisnis besar di dunia, misalnya David Rockefeller, dan para pemilik perusahaan-perusahaan transnasional, seperti General Motors, British Lyeland, ICI, British American Tobacco, Lehman Brothers, American Express, Siemens dan lain-lain. Dan perusahaan pertama yang dibolehkan masuk adalah Freeport milik Dinasti Rockefeller.

Sebagai ilustrasi, sejak 1970-an Freeport telah menghasilkan 7,3 juta ton tembaga dan 724,7 juta ton emas. Dimana prosentasenya adalah 1% untuk negara pemilik tanah (Indonesia) dan 99% untuk AS sebagai negara yang memiliki teknologi pertambangan di Papua. Yang belum banyak terungkap di khalayak melalui berbagai studi berkaitan dengan kejatuhan Presiden Soekarno pada 1965 adalah kepentingan kelompok bisnis di Freeport dan jaringan industri tambang dan emas raksasa Amerika berperan besar dalam hajatan operasi siluman mendongkel kekuasaan Bung Karno.

Menggulingan Allende di Chili tahun 1973

Seperti halnya Arbenz Guzman dan Soekarno, Salvador Allende juga satu haluan dengan kedua tokoh di atas dalam hal ideologi nasionalisme kerakyatan. Hanya saja yang terancam kebijakan populis Allende ialah beberapa korporasi raksasa asal AS seperti Anaconda Copper Mining Company dan Kennecott Utah Copper. Kedua perusahaan ini hingga dekade 1970-an telah mampu menguasai 7 hingga 20 persen Gross Domestic Product di Chili. Maka tak heran jika sejak 1950-an AS berupaya mempertahankan kebijakan pro pasar di Chili.

Akan tetapi secara tak terduga, Allende berhasil memenangi pemilu tahun 1970-an. Dan ia mencanangkan kebijakan Jalan Chili Menuju Sosialisme yang meliputi: nasionalisasi berbagai perusahaan tambang tembaga milik asing termasuk milik AS; lalu menasionalisasi sejumlah bank dan beberapa industri besar; serta land-reform guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. 

Menyikapi kebijakan Allende yang pro rakyat dan sangat membahayakan kepentingan korporasi raksasa, CIA mengatur siasat. Ia menganggarkan dana 8 juta USD untuk menjatuhkan Allende dari kursi kepresidenan. Anggaran berasal dari donasi beberapa korporasi asing termasuk perusahaan ternama International Telephone and Telegraph (ITT), dimana ITT di tahun 1970-an telah menguasai 70 persen perusahaan telkom Chili Chitelco.

Konspirasi antara CIA dan dua perusahaan tambang dan telkom milik AS dalam penggulingan Allende, akhirnya terungkap pada era Bill Clinton menjadi Presiden via sebuah proyek bernama Chili Declassification. Tanpa sengaja, melalui proyek tersebut terkumpul sekitar 16.000-an dokumen terkait keterlibatan CIA, Departemen Luar Negeri, Gedung Putih dan Departemen Pertahanan atas peristiwa kudeta di Chili tahun 1973-an. Yang lebih mengejutkan bahwa operasi CIA dalam penggulingan Allende di Chili ternyata bersandi “Operasi Jakarta”, dimana pola dan methode kudeta disamakan ketika menggulingkan Bung Karno, Presiden RI pertama dahulu. Luar biasa!

Hajatan UNOCAL di Afghanistan 2001  
Bermula pada dekade 1989-an, ketika pasukan Uni Soviet dipaksa mundur dari Afghanistan. Apalagi tatkala Soviet runtuh pada 1991-an, maka beberapa perusahaan minyak milik AS dengan bebas masuk ke Afghanistan seperti Amoco, Arco, British Petroleum, Exxon Mobil, Philips, Texaco, Chevron dan UNOCAL. 

Para korporasi atau perusahan-perusahaan tersebut praktis menguasai setengah dari seluruh investasi migas di kawasan Kaspia. Terutama UNOCAL yang semakin agresif menggandeng perusahaan minyak Delta Oil dari Arab Saudi, Gazprom dari Rusia dan Turkmenrozgas milik Turki. Dan saat itu UNOCAL sempat “bermesraan” dengan Taliban ketika kelompok ini berkuasa di Afghanistan.

Ketika memasuki era 1998-an, agaknya UNOCAL tak lagi sejalan dengan Taliban, namun momentum atau pemicu untuk menggusur Taliban belum ada. Momentum itu muncul tatkala terjadi peristiwa 11 September 2001 di World Trade Centre (911/WTC) di New York yang menghebohkan jagat. Maka dengan dalih teroris, al Qaeda dan lainnya, Taliban digusur dari tampuk kekuasaan di Afghanistan, seiring pula masuknya militer AS dan sekutu bercokol disana, UNOCAL berhasil membangun jalur pipa Trans Afghanistan.

Memburu Saddam Hussein tahun 2003 

Tanpa mengabaikan berbagai faktor yang menjadi dasar bagi Amerika untuk menggulingkan Saddam Hussein, misalnya stigma bahwa Irak menyimpan senjata pemusnah massal yang ternyata tidak terbukti, tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa korporasi raksasa Amerika berada di balik dukungan penggusuran Presiden Negeri 1001 Malam tersebut.

Ceritanya beberapa korporasi raksasa di AS tercatat telah mengucurkan dana yang sangat besar dalam kampanye pemilihan presiden bagi pasangan George Bush dan Dick Cheney. Antara lain adalah Bechtel Group, Fluor Corp, Parson Corp, Lois Berger Group, Washington Group International dan Kello, Brown and Root (KBR). Hal ini tampak jelas ketika invasi militer AS ke Irak telah dinyatakan usai, ada lima perusahaan minyak dari Amerika yang direkrut Presiden Bush guna mendapatkan tender rekonstruksi Irak pasca Saddam, seperti Halliburton Co serta Kellog  Brown and Root.

Harap dicatat bahwa Wakil Presiden Dick Cheney pernah lima tahun hingga tahun 2000-an mengelola Halliburton Co. Selain itu ada perusahaan Bechtel Group dari San Fransisco, Fluor dari Aliso Vejo, California, Lois Berger Group daro East Orange, New Jersey, dan Parsons Group dari Pasadena, California. Ditetapkannya lima korporasi minyak besar tersebut terkait dengan kepentingan AS untuk mengakses sumber minyak mentah di Irak. Ya, sepertinya program rekonstruksi Irak hanya sekedar kedok untuk misi korporasi-korporasi minyak Amerika tersebut. Mereka inilah di balik skema invasi militer AS dan sekutunya ke Irak.

Sekedar informasi, bahwa Irak sebelum di invasi oleh AS dan sekutu memiliki cadangan minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi. Setidaknya pada akhir musim semi 2000 dulu, Amerika telah berhasil memperoleh 800 ribu barel per hari dari Irak. Sudah barang tentu hal ini menempatkan Irak, khususnya di mata AS sebagai cadangan minyak terpenting keenam untuk konsumsi Amerika Utara. Maka menjadi masuk akal jika AS membabi buta menginvasi Irak secara militer dengan berbagai dalih dan stigma.

Kendati kondisi obyektif Irak sebelum invasi militer AS dan sekutunya, ada beberapa perusahaan negara besar lain telah menjalin kontak bisnis dengan Saddam Hussein, seperti Rusia, Eropa dan Cina. Sehingga ketika itu ia tidak memiliki monopoli dalam permainan minyak sejagat. Namun setelah Irak berhasil diinvasi dan Saddam digantung, Bush menghapus semua kontrak antara Irak dengan negara-negara lain. Alhasil, AS merupakan penguasa tunggal dalam penguasaan minyak dan gas di Irak.

III. KESIMPULAN DAN TANGGAPAN

VOC Gaya Baru
Dari sekelumit kisah faktual di atas, tergambar sepak-terjang beberapa korporasi global milik AS dan sekutu dalam penggulingan pemerintahan yang berhaluan nasionalis kerakyatan. 
Terungkap isue menarik yang layak dikaji, bahwa peran penting korporasi global atau sering disebut dengan Mutinational Corporations (MNCs) adalah ujud dari imperialisme gaya baru semodel VOC dulu manakala Belanda menjajah Indonesia tiga abad silam. Hanya dulu rempah-rempah yang diperebutkan sedang kini berubah minyak, emas dan gas alam. Polanya sama. Yakni bertumpu pada arahan dan pengaruh beberapa MNCs dalam proses pengambilan keputusan politik luar negeri yang berwatak imperialistik dan kolonialistik, serta adu domba di internal negeri yang ditarget.

Kata kunci menarik untuk karya Hendrajit dkk dalam mengilustrasikan watak imperialisme AS ialah POLITIK MINYAK SEJAGAT yang secara panjang lebar telah diuraikan pada bagian kedua. Bahkan menariknya lagi, melalui buku ini tersirat kronologis bahwa sejak awal, sejatinya korporasi merupakan cikal bakal atau mungkin merupakan Pemerintahan Siluman itu sendiri di Amerika.

Bagian ketiga buku ini, secara mendalam membedah baik desain politik global AS maupun mengkaji historis-analisis terkait ekspansi dan intervensi politik luar negeri AS semenjak era James Monroe yang berbekal Monroe Doctrin hingga George W. Bush melalui Pre-emtive Strike Doctrin pada periode 2001-2008 bahkan mungkini hingga kini.

Buku ini, selain secara informatif mengulas metode yang diterapkan AS dalam menaklukkan negara-negara yang menjadi target operasi, baik melalui pendekatan militeristik (Hard Power) ala Reagan dan George H. Bush dari sayap Hawkish (garis keras) Partai Republik, maupun via metode Smart Power ala Bill Clinton dan Barrack Obama dari sayap lunak Partai Demokrat, juga memberikan pembelajaran kepada kita tentang analog sebuah pagelaran –misalnya dalam suatu pertunjukan wayang— senantiasa akan ditemui sinergi tiga unsur pokok yang berperan yakni: wayang, dalang dan pemilik hajat.

Di banyak literatur tentang perang dan konflik, entah sifatnya vertikal atau horizontal, baik konflik intrastate maupun interstate, sering mengulas atau menyentuh cuma pada tataran wayang dan dalangnya saja. Menelaah buku ini, kita semakin memahami bahwa ternyata ada pemilik hajatan yang tak tersentuh (untouchable) dimana mereka bukan militer, tidak dari kalangan birokrat, juga bukan politikus, akan tetapi mampu menggerakkan wayang dan dalang. Ya, mereka adalah para pemilik modal yang justru berperan besar, meremot setiap peristiwa dari kejauhan.

Selain substansi, dengan segala kekurangan tulisan seperti ketikan keliru, salah penempatan halaman dan lainnya, sayang sekali buku ini tidak membuat scenario learning dan kiprah AS  ke depan dengan melihat data, trend dan pola-pola selama ini. Buku ini hanya menggambarkan AS di masa lalu.

Namun karya perdana Hendrajit dkk patut diacungi jempol sebab telah memberi kesadaran baru kepada publik, betapa imperialisme ala VOC Belanda berabad-abad silam ternyata masih tetap ada (being), berperan, hidup dan berkembang sesuai tuntutan zaman, cuma beda rupa berbeda warna.  Ya, kelompok elit AS dan para MNCs, sejatinya merupakan pemilik hajat dari penerapan imperialisme kemasan baru atau VOC gaya baru.

Negara Bangkrut, Kontraktor Perang Kaya Raya

Akhirnya terjawab sudah, kenapa AS dan sekutu begitu ngotot ingin terus bertahan di Iraq dan Afghanistan kendati menambah pasukan terus (dalam operasi militer, menambah pasukan atau penebalan artinya banyak yang tewas). Bahwa invisible government yang diawaki pemilik korporasi-korporasi raksasa atau MNCs, sesungguhnya ialah operator bahkan regulator kebijakan politik Paman Sam. Sehingga siapapun presiden di AS, niscaya bakal meneruskan perang di Afghanistan dan di Irak, padahal jelas sangat membebani keuangan negara. Misalnya di zaman George W. Bush, defisit APBN telah mencapai US$ 454,8 milyar gara-gara membiayai perang, sedang pada era Obama justru meningkat mencapai 1 trilyun dolar. Ini sangat bertolak belakang dengan janji Obama dikala kampanye dulu.

Ketika dana negara dihabiskan untuk perang, maka tidak heran bila kini terdapat 40 juta rakyat AS yang hidup di bawah garis kemiskinan dan 10% menjadi pengangguran. Sebaliknya para kaum kapitalis yang menjadi invisible government justru meraup keuntungan dari perang, misalnya penjualan senjata dan pembangunan fasilitas militer, jasa kontraktor tentara bayaran serta konsesi penambangan minyak dan gas bila menang perang, dan lainnya.

Menurut Dina Y. Sulaeman, sejawat Hendrajit di GFI yang juga penulis buku Obama Revealed ini, langkah pertama yang harus dilakukan adalah upaya penyadaran tentang hakikat dan watak politik imperialisme AS sehingga kelak muncul kesadaran publik untuk bangkit dan mampu memilih pemimpin yang independen. Sementara Hendrajit sendiri menyatakan bahwa independensi suatu bangsa di hadapan hegemoni AS bisa diraih melalui tiga komponen (pilar) yaitu: (1) kuatnya independensi pemimpin bangsa, (2) dukungan masyarakat terhadap pemimpin, dan (3) ketahanan nasional.

Iran pasca revolusi bisa dijadikan salah satu rujukan contoh bangsa yang memiliki ketiga pilar tersebut sehingga mampu bertahan tatkala berhadapan ambisi serta hegemoni AS, bahkan sampai sekarang tetap meraih banyak kemajuan di berbagai bidang. Selanjutnya, bila membandingkan antara Iran dan Ibu Pertiwi, bukankah berbagai sumberdaya yang dimiliki oleh Iran ada di Indonesia, tetapi banyak sumber daya (alam) Indonesia tak dipunyai Iran?

Di akhir buku ini dipesankan, selain agresi militer, sesungguhnya ada perang lain yang berlangsung senyap tetapi tetap mematikan, yakni perang ekonomi. Kita sering tidak menyadari bahwa perang senyap juga memiliki daya lebur yang tak kalah mengerikannya dengan perang militer. Jika dibandingkan, perang ekonomi meskipun tidak gegap gempita juga mengabarkan sisi muram pembunuhan manusia lebih menyedihkan. Peperangan dilancarkan untuk menghancurkan musuh tanpa meletuskan peluru sebutir pun. Di tingkat paling ekstrem, perang ekonomi menghasilkan akibat dahsyat tak ubahnya bom nuklir, yakni melemahkan rakyat dan menghancurkan infrastruktur!

Akhirnya saya teringat statement cendikiawan muslim An Nabhani bahwa penjajahan adalah methode baku kapitalis, sedang yang berubah hanya cara dan sarananya saja. Itulah yang kini terjadi. Entah sampai kapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SOAL UTS SKI KELAS 4 SEMESTER GENAP

KELOMPOK KERJA MADRASAH IBTIDAIYAH ULANGAN TENGAH SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2017/2018 Mata Pelajaran : SKI               ...