Sabtu, 12 Mei 2012

Bung Karno Membangkitkan Jiwa Nasionalisme

Banyak kalangan yang mengusulkan perlunya membangkitkan nasionalisme. Berbagai seminar, diskusi, penelitian, dan kegiatan dibuat untuk tujuan itu. Akan tetapi, seperti kita ketahui, sebagian besar proyek itu mengalami kegagalan.
Dahulu, di jaman pergerakan anti-kolonialisme, proses pembangkitan nasionalisme berhasil dilakukan. Maklum, pada jaman itu, rakyat kita berhadapan dengan musuh yang jelas dan penindasan yang juga sangat terang.
Namun, bukankah sekarang problem penjajahan juga terang. Para pengamat, juga politisi dan aktivis, ramai-ramai berbicara tentang penjajahan gaya baru. Bahkan mantan Presiden RI, BJ Habibie, pernah menyinggung istilah ‘VOC berbaju baru’. Ya, baju baru kolonialisme sekarang adalah Neoliberalisme.
Bung Karno, salah seorang motor pergerakan nasional jaman itu, ternyata punya rumus bagaimana membangkitkan nasionalisme itu. Sebab, tidak seperti di pikirkan banyak orang, membangkitkan nasionalisme jaman itu juga bukan perkara gampang; ini membangkitkan nasionalisme rakyat yang ratusan tahun tertidur.
Bung Karno pun mengajukan tiga rumus:
Pertama, menunjukkan kepada rakyat tentang masa lampau yang gemilang.
Kolonialisme membuat rakyat kita patah harapan. Tidak sedikit yang menganggap penjajahan sebagai sesuatu yang sudah ‘hukum alam’. Bahkan tidak sedikit pula yang percaya kolonialisme sebagai proyek ‘memberadabkan’ nusantara.
Karena itu, guna membangkitkan nasionalisme rakyat, Bung Karno berbicara tentang masa lampau yang gemilang. Ia berbicara tentang masa keemasan kerajaan-kerajaan nusantara, seperti Sriwijaya, Singasari, dan Majapahit.
Bung Karno berbicara tentang masa kejayaan nusantara yang diakui oleh bangsa-bangsa lain, seperti Tiongkok, Persia, dan Madagaskar. Namun, tidak sedikit yang mencibir sikap Bung Karno ini.
Banyak yang menuding Bung Karno hendak menghidupkan jaman feudal. Tan Malaka, misalnya, menganggap ‘pengingatan tentang masa lampau yang gemilang’ sebagai tindakan kolot dan sudah berkarat.
Namun, di mata Bung Karno, ‘pembangkitan masa lampau’ itu bukanlah menghidupkan jaman feudal, melainkan menunjukkan bahwa nusantara punya potensi berkembang menjadi bangsa modern. Hanya saja, proses itu diganggu dan dihentikan oleh kolonialisme, sehingga perkembangan positif itu terhenti.
Kedua, menyadarkan rakyat tentang keadaan sekarang ini (penjajahan) sebagai jaman kegelapan.
Dalam urusan bongkar-membongkar kejahatan kolonialisme, mungkin Bung Karno adalah salah seorang ahlinya. Ia banyak sekali menulis karya-karya yang mengupas imperialisme dan kejahatan-kejahatannya.
Di dalam tulisan-tulisan itu, Bung Karno menyertakan data-data untuk menyakinkan orang tentang realitas penindasan itu. Ia menulis, misalnya, berapa kekayaan alam Indonesia yang diangkut oleh kolonialis.
Bung Karno mengatakan: “kesengsaraan itu bukan ‘omong kosong’ atau ‘hasutan kaum penghasut’. Kesengsaraan itu adalah suatu kenyataan atau realitet yang gampang dibuktikan dengan angka-angka.
Bung Karno juga sangat pandai menggali istilah yang tepat untuk menggambarkan penderitan rakyat Indonesia. Salah satunya Bung Karno mengatakan: “rakyat Indonesia hidup segobang sehari (2,5 sen).”
Ketiga, memperlihatkan masa depan yang berseri-seri dan gemilang.
Nah, di sini ada sedikit masalah, sebab tidak ada orang yang bisa memastikan keadaan masa depan. Paling-paling, kata Bung Karno, orang hanya bisa memberikan gambaran-gambaran saja.
Kaum marxist pun, kata Bung Karno, akan kesulitan menggambarkan masyarakat sosialis secara seksama. Paling-paling, kata Bung Karno, orang marxist menggambarkan kecenderungan-kecenderungan masyarakat sosialis saja.
Karenanya, yang paling bisa dilakukan cuma menebarkan janji-janji: kemakmuran, keadilan sosial, demokrasi, kemajuan seni dan budaya, dan lain-lain. Namun, proses merealisasikan janji-janji itu memerlukan perjuangan.
Nah, rumus Bung Karno membangkitkan nasionalisme itu  bisa diringkas sebagai berikut: “rakyat Indonesia yang dahulu begitu bersinar-sinar dan tinggi kebesarannya, meskipun sekarang sudah hampir menjadi bangkai, rakyat Indonesia itu pasti cukup kekuatan dan cukup kebisaan mendirikan gedung kebesaran pula kelak di kemudian hari, pasti bisa menaiki lagi ketinggian tingkat derajatnya yang sediakala, ya, melebihi lagi tingkat ketinggian itu!”
Bung Karno menunjukkan bahwa masa depan bangsa Indonesia adalah tata masyarakat adil dan makmur, yaitu sosialisme Indonesia. Akan tetapi, sebelum menuju ke sana, terlebih dahulu harus dihilangkan penghalang-penghalangnya: stelsel (sistem) yang menghisap kaum marhaen, yakni kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Pendek kata, nasionalisme ala Bung Karno, yang sering disebut sosio-nasionalisme, bercita-cita menjadikan sosialisme Indonesia sebagai “terminus ad quem” (titik yang dituju).
Dengan demikian, proyek nasionalisme Indonesia adalah proyek jangka panjang yang disertai perjuangan. Itulah yang membedakannya dengan proyek nasionalis sekarang: sebuah proyek jangka pendek, yakni sekedar ‘merek dagang’ politik untuk pesta demokrasi lima tahunan.

Filosofi Pasal 33 UUD 1945

Pada tahun 1932, Bung Karno menulis di koran ‘Suluh Indonesia Muda’ tentang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Katanya, nasionalisme yang diperjuangkannya sangatlah berbeda dengan nasionalisme di eropa; dan, bentuk demokrasi yang diperjuangkannya pun berbeda dengan demokrasi ala eropa.
Soekarno menyebut nasionalisme eropa itu sebagai nasionalisme borjuis, sedangkan demokrasi di eropa dikatakannya sebagai demokrasi borjuis. Soekarno lantas mengajukan konsepsi sendiri yang terkenal: sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme masyarakat, sedang sosio-demokrasi adalah demokrasi masyarakat.


Menurut Rudi Hartono, aktivis dari Partai Rakyat Demokratik, fikiran sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi sangat mengutamakan masyakat atau rakyat. Kelak, ketika Bung Karno semakin mematangkan fikirannya mengenai Indonesia merdeka, gagasan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi ini juga mempengaruhi corak ekonomi untuk Indonesia merdeka.
Versi lain menyebutkan, yang pertama sekali memunculkan istilah demokrasi ekonomi dan demokrasi politik adalah Mohammad Hatta. Dalam sebuah tulisan di Daulat Ra’jat tahun 1931, Bung Hatta menulis: “Bagi kita, rakyat yang utama, rakyat umum yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan (souvereinteit).”
Lalu, pada tahun 1932, Bung Hatta kembali melengkapi gagasannya mengenai kedaulatan rakyat melalui tulisannya yang monumental, Ke Arah Indonesia Merdeka. Di situ Bung Hatta menulis begini: “Asas Kerakyatan mengandung arti, bahwa kedaulatan ada pada rakyat. Segala Hukum (Recht, peraturan-peraturan negeri) haruslah bersandar pada perasaan Keadilan dan Kebenaran yang hidup dalam hati rakyat yang banyak, dan aturan penghidupan haruslah sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau ia beralasan kedaulatan rakyat.”
Gagasan bahwa Indonesia merdeka harus mendatangkan kemajuan bagi rakyat juga ditemukan di tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya; kaum Marxist, Nasionalis, dan Agamais. Tidak heran, dalam rapat-rapat BPUPKI menjelang kemerdekaan Indonesia, pidato-pidato anggota BPUPKI menyiratkan ekonomi harus dikelolah oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
Mohammad Hatta, yang saat itu menjadi anggota BPUPKI, pada 30 Mei 1945, menyampaikan pidato sangat rinci mengenai dasar perekonomian Indonesia. Risalah itu diberi judul “Soal Perekonomian Indonesia Merdeka”. Bung Hatta mengatakan, “perekonomian Indonesia merdeka akan berdasar pada cita-cita tolong-menolong dan usaha bersama, yang akan diselenggarakan berangsur-angsur dengan koperasi.”
Hatta juga mengatakan, “perusahaan-perusahaan besar yang mengusai hajat hidup orang banyak, tempat beribu-ibu orang menggantungkan nasibnya dan nafkah hidupnya, mestilah dibawah kekuasaan pemerintah.”
Lalu, Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, yang dikenang sebagai hari lahirnya Pancasila, menyinggung pula soal demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Katanya, Kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!
“Marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya,” kata Bung Karno dihadapan anggota BPUPKI.
Konon, pidato Hatta dan Bung Karno inilah yang mempengaruhi penyusunan pasal 33 UUD 1945. Meskipun baru berumur sehari, tetapi republik baru bernama Republik Indonesia ini berhasil menyelesaikan penyusunan konstitusinya: UUD 1945.
>>>
Dalam sebuah symposium di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 1955, Wilopo, yang saat itu menjabat ketua Konstituante, berusaha menafsirkan pasal 33 UUD 1945.
Katanya, azas kekeluargaan dalam pasal 33 UUD 1945 berarti penentangan keras terhadap liberalisme, sebuah sistim yang, menurutnya, telah menimbulkan praktik-praktik penghisapan manusia oleh manusia, kesenjangan ekonomi, dan cenderung menekan kaum buruh.
Istilah usaha bersama, kata Wilopo, mengungkapkan buah fikiran tentang suatu usaha yang sama sekali berbeda dengan usaha swasta. “Dalam usaha swasta itu semua keputusan itu ada di tangan pengusaha dan seluruh kehidupan dan pekerjaan si pekerja ada di tangan majikan. Karena liberalisme keadaan dalam mana para pekerja umumnya dapat ditekan oleh keharusan masyarakat, maka kita menentang sistem yang demikian itu.”
Karena itu, menurut Wilopo, kegiatan ekonomi menurut pasal 33 tidak lagi mengandung logika mencari keuntungan pribadi, melainkan motif untuk mengabdi kepada masyarakat demi kebaikan bersama.
Menurut Salamuddin Daeng, peneliti dari Institute for Global Justice (IGJ), pasal 33 UUD 1945 merupakan antitesa terhadap sistim kapitalisme dan sekaligus terhadap sistim komunisme.
Tetapi Daeng menggaris bawahi bahwa pasal 33 merupakan sistim ekonomi yang diambil dari tata-cara orang Indonesia sejak dahulu dalam menjalankan aktivis ekonomi, sehingga, karena itu, tidak dapat dipisahkan dari ajaran Pancasila.
“Pancasilan itu adalah fondasinya. Jadi kalau mau berbicara mengenai pengaturan ekonomi, maka mesti mengadu kepada Pancasila sebagai fondasi berbangsa dan bernegara,” tegasnya saat diskusi mengenai Filosofi Pancasila di kantor KPP-PRD, Jumat (5/7).
Sayang sekali, baik Pancasila maupun UUD 1945—khususnya pasal 33—tidak pernah dijalankan secara murni dan konsekuen oleh pemerintahan sejak Indonesia merdeka, terutam sejak orde baru hingga sekarang ini.
Pada tahun 1979, di hari-hari terakhir, ketika memberi sambutan di ISEI, Bung Hatta menyampaikan kritik pedas terhadap pemerintahan Soeharto. Bung Hatta dengan nada menyindir berkata: “Pada masa akhir-akhir ini, negara kita masih berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, tetapi praktek perekonomian di bawah pengaruh teknokrat kita sekarang sering menyimpang dari dasar itu … Politik liberal-isme sering dipakai sebagai pedoman, berbagai barang penting bagi kehidupan rakyat tidak menjadi monopoli Pemerintah, tetapi di monopoli oleh orang-orang Cina …

Tentu saja, jika Bung Karno dan Bung Hatta masih hidup, keduanya akan sangat marah ketika melihat perekonomian kita tunduk pada azas liberalisme, bahkan liberalisme paling reaksioner: neoliberalisme.

Bung Karno dan Peta Dunia (ATLAS)

Pernahkah anda memperhatikan peta dunia?, yang anda lihat pasti posisi Asia di tengah, Asia menjadi centrum dari tata gambar peta. Tahukah anda bahwa seluruh peta dunia yang beredar sekarang, peta dunia yang digantungkan di sekolah-sekolah seluruh dunia, di seluruh kantor resmi negara dan dipelajari anak-anak sekolah adalah pengaruh Bung Karno?
Awalnya setelah KMB 1949, dan penyerahan kedaulatan, Bung Karno berpikir tentang tatanan dunia setelah peperangan Indonesia, keberhasilan Indonesia memperpendek perang dengan Belanda dia meletakkan Indonesia sebagai centrum dari segala centrum gerakan kemerdekaan di Asia dan Amerika Latin. Pemahaman Bung Karno tentang meletakkan Asia sebagai centrum dunia ini dipengaruhi dua orang, yaitu : Tan Malaka dan Ki Ageng Suryomentaram.

Beberapa bulan setelah Proklamasi Agustus 1945, Tan Malaka berhasil dihubungi pemuda-pemuda di Bogor, lalu lewat Maruto Nitimihardjo, Tan Malaka berhasil dibawa ke Djakarta, disana juga telah hadir beberapa orang, setelah pidato Tan Malaka yang terkenal di Cikini atas permintaan mahasiswa Prapatan 10, Tan Malaka bertemu dengan Bung Karno yang diantar dokter pribadinya Suharto ke sebuah rumah lalu dibawa ke kamar gelap tanpa lampu disana Bung Karno dan Tan Malaka berbicara berdua, selama berjam-jam Bung Karno digembleng apa arti kemerdekaan dan meletakkan Indonesia dalam peradaban dunia. Bung Karno paham. Tapi kemudian Tan Malaka terseret arus gerakan yang lain dan berpisah jarak dengan Bung Karno.

Di bulan Maret 1950 Bung Karno kedatangan tamu dari Yogyakarta bernama Ki Ageng Suryo Mentaram, Ki Ageng Suryo Mentaram adalah anak dari Sultan Hamengkubuwono VIII yang telah meminta berhenti sebagai Pangeran dan menjalani kehidupan sebagai ahli kebatinan. Ia seorang pangeran yang unik, tapi brilian dalam memahami kehidupan, dia juga adalah orang yang mempengaruhi Bung Karno tentang konsep kemanusiaan dan kebangsaan, serta konsep harga diri sebagai manusia. Pada tahun 1938 sebelum kekalahan Belanda dengan Jepang di tahun 1942, ia diam-diam menyusun kekuatan militer dengan melatih silat ratusan pemuda lalu sempat digerebek rumahnya oleh PID, Intel Hindia Belanda dan diseret ke penjara tapi kemudian Sultan HB VIII turun tangan menyelamatkan adiknya itu dengan uang jaminan, Ki Ageng menyadari 'waktunya sudah dekat' untuk Belanda pergi dari Indonesia dan di tahun 1942 sebelum lembaga Putera (Pusat Tenaga Rakyat) terbentuk dimana Bung Karno, Hadji Mas Mansjur, Hatta dan Ki Hadjar Dewantoro jadi pemangkunya, mengunjungi Ki Ageng Suryomentaram untuk meminta doa restu, sekaligus disana dinasihati agar Putera segera membentuk pertahanan militer. "Kehormatan manusia terletak pada keberaniannya, keberanian-lah yang membuat manusia ada" kata Ki Ageng Suryomentaram kepada Bung Karno. Pada pertemuan Ki Ageng Suryomentaram di Istana Merdeka, Ki Ageng berpesan pada Bung Karno agar untuk menjadi bangsa terhormat, maka 'sadarilah diri kita ada'. Pesan Ki Ageng Suryomentaram inilah yang kemudian diresapi Bung Karno. Dan atas dasar Ki Ageng Suryomentaram didirikanlah PETA (Pembela Tanah Air) walaupun di buku-buku sejarah sering disebut Gatot Mangkoepradja menuliskan dengan jempol darah untuk meminta Jepang mendirikan Tentara Rakyat (PETA).

Setelah kepulangan Ki Ageng Suryomentaram Bung Karno berpikir dalam-dalam tentang Indonesia, kenapa Indonesia selalu tersingkir, kenapa Indonesia bangsa yang besar ini 'seolah-olah tak ada di mata dunia'. Lalu Bung Karno duduk lama di perpustakaannya di Istana dan bergelut dengan puluhan buku, kebiasaan Bung Karno adalah ketika ia sudah mendapatkan ide tentang memikirkan sesuatu maka ia memerintahkan beberapa orang pegawai Istana mencari buku-buku dengan judul yang dimaksud, lalu buku-buku itu dibentangkan halamannya, jarang bagi Bung Karno menyelesaikan satu buku, sekali ia baca buku ia bisa membaca sepuluh buku, ia dengan cepat membaca struktur, menarik substansi daripada isi, lalu mencoret-coret isi tersebut disamping buku, notes-notes ini yang kemudian jadi pokok pikiran Bung Karno, inilah bedanya Bung Karno dengan Hatta yang bersih dari coretan dan Hatta selalu berdisiplin menyelesaikan satu buku yang dibacanya dengan rinci, tak boleh satu halaman-pun lecek, Hatta adalah pecinta fanatik buku, sementara Bung Karno lebih kepada perusak buku dan senang mengacak-acaknya, yang penting baginya substansi pemikiran sebuah buku ketemu.

Saat itu yang ia pikirkan adalah 'Rahasia dibalik hilangnya Indonesia dari peradaban', Bung Karno membuka catatan-catatan sejarah masa lalu Indonesia, ia membaca History of Java yang kemudian dihubungkan dengan buku Revolusi Perancis lalu ia meloncat ke buku tentang Geopolitik Karl Haushofer, ia meloncat lagi ke buku filsafat eksistensialisme dari berbagai macam buku akhirnya bertemu pada satu titik : "Keberadaan ditentukan oleh Perhatian, Keberadaan ditentukan oleh kesadaran 'bahwa saya ada'..." ketika Bung Karno sampai pada kesimpulan tersebut lalu matanya menumpu pada Peta yang menggantung di perpustakaan Istana. Ia tercekat 'dimanakah Indonesia?' kemudian ia berdiri dari tempat duduknya dan mendekat ke peta, 'Atlas ini tidak menempatkan Indonesia sebagai bagian utuh dunia, Indonesia hanya digambarkan garis-garis kecil. Kemudian ia teringat Tan Malaka dan Ki Ageng Suryomentaram tentang hakikat 'keberadaan'.

Sebelum tahun 1900, pusat atlas dari dunia adalah Eropa, barulah pada tahun 1910-an, Amerika Serikat membuat atlas resmi yang menjadikan benua Amerika sebagai pusat Atlas. Seluruh Atlas dunia tidak menempatkan Asia sebagai pusat dunia. Bung Karno di tahun 1935 sudah meramalkan pusat dari dunia adalah Asia, lalu di masa masa Revolusi, Bung Karno sering mengobarkan pidato 'Kelak dunia berpusat di Asia, seluruh dunia akan datang bangsa-bangsa Asia, untuk itu kita harus merdeka' dan Indonesia adalah salah satu bangsa pertama yang merebut kemerdekaannya. Bung Karno melakukan hitung-hitungan bahwa Indonesia akan menjadi bangsa terkuat di Asia setelah melakukan penetrasi terhadap geopolitik dunia, namun untuk pertama-tama sebelum masuk pada penetrasi geopolitik, Bung Karno ingin dunia sadar bahwa Indonesia ada, dan Bung Karno berpikir bagaimana meletakkan Asia dan Indonesia sebagai pusat dunia dalam atlas.

Setelah merenung bermalam-malam tentang soal menyadarkan dunia bahwa 'Indonesia ada', akhirnya Bung Karno berpikir untuk membuat peta dunia. Suatu pagi Bung Karno mengundang sarapan Muhammad Yamin dan beberapa orang, Bung Karno senang sekali dengan M Yamin, jika Yamin bercerita soal kehebatan masa lalu Jawa di tengah bangsa-bangsa di dunia, walaupun harus diuji kebenaran fakta sejarah, tapi Yamin berhasil membuat definisi soal wawasan geopolitik Gadjah Mada dan jaringan Nusantara yang membentuk geopolitik keIndonesiaan. "Yamin, aku ingin membuat Peta dimana Asia dibuat jadi centris-nya, dimana Indonesia dengan 'gagah' berada di tengah-tengah bangsa di dunia". Yamin langsung menyambar :"Coba saja panggil Pak Djamalludin, mungkin dia bisa" yang dimaksud Djamaluddin adalah Adinegoro, seorang jurnalis Indonesia terkemuka pada tahun 1920-an.

Djamaluddin yang punya nama pena Adinegoro itu, merupakan orang Indonesia pertama yang belajar soal Jurnalistik secara khusus, ia belajar langsung ke Jerman, disana ia berguru dengan Professor E. Dofivat. Ketika belajar di Jerman ini juga Adinegoro bergabung dengan perkumpulan yang bernama Asiatische Verein, persatuan Asia, sebuah embrio gerakan besar yang menyadarkan kebesaran Asia ditengah-tengah dunia yang sedang bergolak. Saat Adinegoro belajar di Jerman juga ia menekuni dengan jeli buku Karl Haushofer yang berjudul : Geopolitik Des Pasifischen Ozeans. Dalam buku Politik Lautan Teduh diramalkan bahwa bangsa Melayu (Indonesia) akan jadi bangsa Merdeka dan menjadi bangsa maritim terkuat di dunia. Kesadaran ini juga yang terus mendorong Adinegoro untuk menekuni sejarah geopolitik dan kerap menulis tentang laporang Perang Dunia yang meletus di tahun 1939 sampai dengan tahun 1945.

Rupanya pemikiran Bung Karno dan Djamaluddin Adinegoro satu ordinat, mereka terus berdiskusi soal Kartografi yang intinya meletakkan Asia ditengah-tengah. Bung Karno berkata "Pak Adinegoro, saya paham Asia akan jadi pusat dunia, dan saya akan mengarahkan Indonesia jadi bangsa terkuat di Asia, Indonesia yang menyumbangkan bagi peradaban dunia, Indonesia menjadi bangsa yang mampu menciptakan kesejahteraan dunia, pusat budaya, pusat Ilmu Pengetahuan, itu obsesiku, lalu dengan meletakkan Indonesia ke dalam titik sentral Asia, dan menjadi Asia sebagai pusat dunia adalah fase awal dalam membentuk kesadaran 'bahwa kita ada'.

Itulah pesan Bung Karno pada Adinegoro, lalu Adinegoro mengajak kawannya Adam Bachtiar untuk menyusun Atlas dengan Asia sebagai pusatnya, pada tahun 1952 peta itu selesai dan diserahkan pada Bung Karno, penerbit Peta itu adalah Penerbitan 'Djambatan Amsterdam' yang kemudian namanya menjadi singkat saja 'Penerbit Djambatan'. Bung Karno memerintahkan Peta terbitan Djambatan itu digunakan resmi di sekolah-sekolah, kantor negara dan umum. Lalu peta itu menyebar, setelah pamor Bung Karno naik di Konferensi Asia Afrika, Peta versi Djambatan ini ditiru banyak bangsa di dunia.

Sejak itulah peta yang menggunakan Asia sebagai pusatnya paling banyak digunakan diseluruh dunia, Peta versi Penerbit Djambaran. Hanya Amerika Serikat yang masih menggunakan Peta dengan menempatkan Amerika Serikat sebagai pusat dunia, lain negara menggunakan peta yang hampir persis dengan penerbit Djambatan ini.

Inilah peran Bung Karno di masa lalu, inilah mimpi bangsaku di masa lalu, dan ketika di hari-hari ini Indonesia dipertontonkan oleh para politisi maling di Pengadilan, mereka yang maling dan berdebat di televisi-televisi, betapa malunya kita kalau kita sadar sejarah, bahwa bangsa Indonesia dibentuk oleh manusia-manusia bervisi raksasa, idealisme dan besar kemudian diperintah dan dipimpin sebarisan maling yang saling berdebat memamerkan kepandaian mereka mencuri uang negara di depan mata rakyat, seraya rakyatnya kelaparan dan BBM dinaikkan tanpa pembelaan negara berjuang memberikan subsidi.........

Jadi jika anda melihat TV tentang suguhan berita berita yang dipamerkan saat ini (korupsi), segera palingkanlah mata anda ke Atlas dunia, disitulah kita pernah punya mimpi Indonesia sebagai bangsa besar.

"Jangan Dengarkan Asing..!!"

Itulah yang diucapkan Bung Karno di tahun 1957 saat ia mulai melakukan aksi atas politik kedaulatan modal. Aksi kedaulatan modal adalah sebuah bentuk politik baru yang ditawarkan Sukarno sebagai alternatif ekonomi dunia yang saling menghormati, sebuah dunia yang saling menyadari keberadaan masing-masing, sebuah dunia co-operasi, "Elu ada, gue ada" kata Bung Karno saat berpidato dengan dialek betawi di depan para mahasiswa sepulangnya dari Amerika Serikat.
Pada tahun 1957, perlombaan pengaruh kekuasaan meningkat antara Sovjet Uni dan Amerika Serikat, Sovjet Uni sudah berani masuk ke Asia pasca meninggalnya Stalin, sementara Mao sudah ambil ancang-ancang untuk menguasai seluruh wilayah perbatasan Sovjet Uni dengan RRC di utara Peking. Bung Karno sudah menebak Amerika Serikat dan Sovjet Uni pasti akan rebutan Asia Tenggara. "Dulu Jepang ngebom Pearl Harbour itu tujuannya untuk menguasai Tarakan, untuk menguasai sumber-sumber minyak, jadi sejak lama Indonesia akan jadi pertaruhan untuk penguasaan di wilayah Asia Pasifik, kemerdekaan Indonesia bukan saja soal kemerdekaan politiek, tapi soal bagaimana menjadiken manusia yang didalamnya hidup terhormat dan terjamin kesejahteraannya" kata Bung Karno saat menerima beberapa pembantunya sesaat setelah pengunduran Hatta menjadi Wakil Presiden RI tahun 1956. Saat itu Indonesia merobek-robek perjanjian KMB didorong oleh kelompok Murba, Bung Karno berani menuntut pada dunia Internasional untuk mendesak Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia "Kalau Belanda mau perang, kita jawab dengan perang" teriak Bung Karno saat memerintahkan Subandrio untuk melobi beberapa negara barat seperti Inggris dan Amerika Serikat.

"Gerak adalah sumber kehidupan, dan gerak yang dibutuhkan di dunia ini bergantung pada energi, siapa yang menguasai energi dialah pemenang" Ambisi terbesar Sukarno adalah menjadikan energi sebagai puncak kedaulatan bangsa Indonesia, pada peresmian pembelian kapal tanker oleh Ibnu Sutowo sekitar tahun 1960, Bung Karno berkata "Dunia akan bertekuk lutut kepada siapa yang punya minyak, heee....joullie (kalian =bahasa belanda) tau siapa yang punya minyak paling banyak, siapa yang punya penduduk paling banyak...inilah bangsa Indonesia, Indonesia punya minyak, punya pasar. Jadi minyak itu dikuasai penuh oleh orang Indonesia untuk orang Indonesia, lalu dari minyak kita ciptaken pasar-pasar dimana orang Indonesia menciptaken kemakmurannya sendiri".

Jelas langkah Sukarno tak disukai Amerika Serikat, tapi Moskow cenderung setuju pada Sukarno, ketimbang harus perang di Asia Tenggara dengan Amerika Serikat, Moskow memutuskan bersekutu dengan Sukarno, tapi perpecahan Moskow dengan Peking bikin bingung Sukarno. Akhirnya Sukarno memutuskan maju terus tampa Moskow, tampa Peking untuk berhadapan dengan kolonialis barat.

Di tahun 1960, Sukarno bikin gempar perusahaan minyak asing, dia panggil Djuanda, dan suruh bikin susunan soal konsesi minyak "Kamu tau, sejak 1932 aku berpidato di depan Landraad soal modal asing ini? soal bagaimana perkebunan-perkebunan itu dikuasai mereka, jadi Indonesia ini tidak hanya berhadapan dengan kolonialisme tapi berhadapan dengan modal asing yang memperbudak bangsa Indonesia, saya ingin modal asing ini dihentiken, dihancurleburken dengan kekuatan rakyat, kekuatan bangsa sendiri, bangsaku harus bisa maju, harus berdaulat di segala bidang, apalagi minyak kita punya, coba kau susun sebuah regulasi agar bangsa ini merdeka dalam pengelolaan minyak" urai Sukarno di depan Djuanda.

Lalu tak lama kemudian Djuanda menyusun surat yang kemudian ditandangani Sukarno. Surat itu kemudian dikenal UU No. 44/tahun 1960. isi dari UU itu amat luar biasa dan memukul MNC (Multi National Corporation). "Seluruh Minyak dan Gas Alam dilakukan negara atau perusahaan negara". Inilah yang kemudian menjadi titik pangkal kebencian kaum pemodal asing pada Sukarno, Sukarno jadi sasaran pembunuhan dan orang yang paling diincar bunuh nomor satu di Asia. Tapi Sukarno tak gentar, di sebuah pertemuan para Jenderal-Jenderalnya Sukarno berkata "Buat apa memerdekakan bangsaku, bila bangsaku hanya tetap jadi budak bagi asing, jangan dengarken asing, jangan mau dicekoki Keynes, Indonesia untuk bangsa Indonesia". Ketika laporan intelijen melapori bahwa Sukarno tidak disukai atas UU No. 44 tahun 1960 itu Sukarno malah memerintahkan ajudannya untuk membawa paksa seluruh direktur perusahaan asing ke Istana. Mereka takut pada ancaman Sukarno. Dan diam ketakutan.

Pada hari Senin, 14 Januari 1963 pemimpin tiga perusahaan besar datang lagi ke Istana, mereka dari perusahaan Stanvac, Caltex dan Shell. Mereka meminta Sukarno membatalkan UU No.40 tahun 1960. UU lama sebelum tahun 1960 disebut sebagai "Let Alone Agreement" yang memustahilkan Indonesia menasionalisasi perusahaan asing, ditangan Sukarno perjanjian itu diubah agar ada celah bila asing macam-macam dan tidak memberiken kemakmuran pada bangsa Indonesia atas investasinya di Indonesia maka perusahaannya dinasionalisasikan. Para boss perusahaan minyak itu meminta Sukarno untuk mengubah keputusannya, tapi inilah jawaban Sukarno "Undang-Undang itu aku buat untuk membekukan UU lama dimana UU lama merupaken sebuah fait accomply atas keputusan energi yang tidak bisa menasionalisasikan perusahaan asing. UU 1960 itu kubuat agar mereka tau, bahwa mereka bekerja di negeri ini harus membagi hasil yang adil kepada bangsaku, bangsa Indonesia" mereka masih ngeyel juga, tapi bukan Bung Karno namanya ketika didesak bule dia malah meradang, sambil memukul meja dan mengetuk-ngetukkan tongkat komando-nya lalu mengarahkan telunjuk kepada bule-bule itu Sukarno berkata dengan suara keras :"Aku kasih waktu pada kalian beberapa hari untuk berpikir, kalau tidak mau aku berikan konsesi ini pada pihak lain negara..!" waktu itu ambisi terbesar Sukarno adalah menjadikan Permina (sekarang Pertamina) menjadi perusahaan terbesar minyak di dunia, Sukarno butuh investasi yang besar untuk mengembangkan Permina. Caltex disuruh menyerahkan 53% hasil minyaknya ke Permina untuk disuling, Caltex diperintahkan memberikan fasilitas pemasaran dan distribusi kepada pemerintah, dan menyerahkan modal dalam bentuk dollar untuk menyuplai kebutuhan investasi jangka panjang pada Permina.

Bung Karno tidak berhenti begitu saja, ia juga menggempur Belanda di Irian Barat dan mempermainkan Amerika Serikat, Sukarno tau apabila Irian Barat lepas maka Biak akan dijadikan pangkalan militer terbesar di Asia Pasifik, dan ini mengancam kedaulatan bangsa Indonesia yang baru tumbuh. Kemenangan atas Irian Barat merupakan kemenangan atas kedaulatan modal terbesar Indonesia, di barat Indonesia punya lumbung minyak yang berada di Sumatera, Jawa dan Kalimantan sementara di Irian Barat ada gas dan emas. Indonesia bersiap menjadi negara paling kuat di Asia. Hitung-hitungan Sukarno di tahun 1975 akan terjadi booming minyak dunia, di tahun itulah Indonesia akan menjadi negara yang paling maju di Asia , maka obesesi terbesar Sukarno adalah membangun Permina sebagai perusahaan konglomerasi yang mengatalisator perusahaan-perusahaan negara lainnya di dalam struktur modal nasional. Modal Nasional inilah yang kemudian bisa dijadikan alat untuk mengakuisisi ekonomi dunia, di kalangan penggede saat itu struktur modal itu diberi kode namanya sebagai 'Dana Revolusi Sukarno". Kelak empat puluh tahun kemudian banyak negara-negara kaya seperti Dubai, Arab Saudi, Cina dan Singapura menggunakan struktur modal nasional dan membentuk apa yang dinamakan Sovereign Wealth Fund (SWF) sebuah struktur modal nasional yang digunakan untuk mengakuisisi banyak perusahaan di negara asing, salah satunya apa yang dilakukan Temasek dengan menguasai saham Indosat.

Sukarno sangat perhatian dengan seluruh tambang minyak di Indonesia, di satu sudut Istana samping perpustakaannya ia memiliki maket khusus yang menggambarkan posisi perusahaan minyak Indonesia, suatu hari saat Bung Karno kedatangan Brigjen Sumitro, yang disuruh Letjen Yani untuk menggantikan Brigjen Hario Ketjik menjadi Panglima Kalimantan Timur, Sukarno sedang berada di ruang khusus itu, lalu ia keluar menemui Sumitro yang diantar Yani untuk sarapan dengan Bung Karno, saat sarapan dengan roti cane dengan madu dan beberapa obat untuk penyakit ginjal dan diabetesnya, Sukarno berkata singkat pada Sumitro : "Generaal Sumitro saya titip rafinerij (rafineij = tambang dalam bahasa Belanda) di Kalimantan, kamu jaga baik-baik" begitu perhatiannya Sukarno pada politik minyak.

Kelabakan dengan keberhasilan Sukarno menguasai Irian Barat, Inggris memprovokasi Sukarno untuk main di Asia Tenggara dan memancing Sukarno agar ia dituduh sebagai negara agresor dengan mengakuisisi Kalimantan. Mainan lama ini kemudian juga dilakukan dengan memancing Saddam Hussein untuk mengakuisisi Kuwait sehingga melegitimasi penyerbuan pasukan Internasional ke Baghdad. Sukarno panas dengan tingkah laku Malaysia, negara kecil yang tak tau malu untuk dijadikan alat kolonialisme, namun Sukarno juga terpancing karena bagaimanapun armada tempur Indonesia yang diborong lewat agenda perang Irian Barat menganggur. Sukarno ingin mengetest Malaysia.

Tapi sial bagi Sukarno, ia justru digebuk Jenderalnya sendiri. Sukarno akhirnya masuk perangkap Gestapu 1965, ia disiksa dan kemudian mati mengenaskan, Sukarno adalah seorang pemimpi, yang ingin menjadikan bangsanya kaya raya itu dibunuh oleh konspirasi. Dan sepeninggal Sukarno bangsa ini sepenuhnya diambil alih oleh modal asing, tak ada lagi kedaulatannya dan tak ada lagi kehormatannya.

Sukarno menciptakan landasan politik kepemilikan modal minyak, inilah yang harus diperjuangkan oleh generasi muda Indonesia, kalian harus berdaulat dalam modal, bangsa yang berdaulat dalam modal adalah bangsa yang berdaulat dalam ekonomi dan kebudayaannya, ia menciptakan masyarakat yang tumbuh dengan cara yang sehat.

Bung Karno tidak mengeluh dalam berpidato didepan publik, tapi ia menantang, ia menumbuhkan keberanian pada setiap orang Indonesia, ia menumbuhkan kesadaran bahwa manusia Indonesia berhak atas kedaulatan energinya. Andai Indonesia berdaulat energinya, Pertamina menjadi perusahaan minyak terbesar di dunia dan menjadi perusahaan modal yang mengakusisi banyak perusahaan di dunia maka minyak Indonesia tak akan semahal sekarang, rakyat yang dicekik terus menerus.

"Salam Revolusi".

Sabtu, 21 April 2012

WASPADA HALAMAN RUMAH BELAKANG KITA

Dinamika kawasan kiri kanan rumah besar kita benar-benar berkembang menuju sebuah persiapan menyusun strategi pertahanan kualitas gajah.  Kalau sebelumnya kita merasa konflik bertetangga hanya sebatas pelecehan teritori, misalnya dengan Malaysia  dan itu ada di wilayah halaman dalam dan depan rumah kita.  Maka setelah Darwin yang dipersiapkan sebagai pangkalan militer angkatan laut AS dan kemudian pulau  Kokos (Keeling) milik Australia yang berada di barat daya Jawa juga dipersiapkan sebagai pangkalan militer AS, maka kita tidak lagi sekedar “bermain” di halaman dalam rumah kita.  Kita harus mewaspadai halaman belakang yang selama ini seperti kosong melompong tak berpenghuni.

AS memang sedang mempersiapkan kekuatan militernya di Asia Pasifik untuk menghadapi kekuatan militer Cina yang berkembang pesat.  Cina sudah mempunyai target bahwa tahun 2020 nanti merupakan tahun kecemerlangan militernya karena pada saat itu sudah tersedia kekuatan laut dan udara yang berkemampuan ekspansi dan terkuat di kawasan Asia Pasifik.  Lebih dari itu, Cina mempunyai ambisi untuk menguasai sumber energi fosil yang tersimpan di Laut Cina Selatan (LCS).  Maka klaimnya jelas dengan mempertunjukkan sejarah dinasti Cina yang katanya menguasai seluruh kawasan LCS sehingga itu menjadi hak Cina dengan mengumumkan peta lidah naga yang menjulur sampai perairan Natuna milik Indonesia.

Sebagai pemilik hegemoni kekuatan militer di Asia Pasifik, AS tak mau posisi pemimpin klasemen kekuatan militernya digeser oleh Cina.  Padahal AS sudah memiliki kekuatan Armada ke 7 yang hilir mudik mengarungi Samudera Pasifik dan lenggang kangkung melewati ALKI 1 dan 2 Indonesia.  Itulah paranoidnya AS, selalu merasa terancam secara militer padahal sejatinya tak ada ancaman terhadap teritorinya yang jauh dari kemungkinan serangan militer skala besar seperti cerita sejarah PD I dan PD II, AS berperang jauh dari teritorinya sendiri.  Demikian juga dengan prediksi kekuatan ekonomi Cina sudah memberikan peta jalan bahwa Cina akan menjadi kekuatan ekonomi nomor satu dunia setelah tahun 2020.  AS semakin cemas saja apalagi Cina tak bisa didikte dengan kerjasama ekonominya dengan Iran yang berjalan terus.  Sanksi ekonomi AS bagi Cina adalah ebuah fatamorgana. 
Boleh jadi pembangunan pangkalan militer AS di pulau Kokos juga untuk menghadapi kekuatan militer India yang menggeliat dan mulai mengaum di kawasan Samudra Hindia. Padahal AS sudah memiliki Diego Garcia yang juga di kawasan barat Samudra Hindia.  Tetapi begitulah, merasa masih kurang saja mata, telinga dan tangan  yang dipersiapkan untuk menjaga hegemoni tadi.  Sehingga yang terjadi adalah persiapan membangun kekuatan militernya di kawasan yang nota bene ada di halaman belakang NKRI.  Masih ada lagi satu pulau yang bisa dijadikan jalur suplai dan bekal ulang yaitu pulau Natal milik Australia.  Pulau Natal (Christmas) sebenarnya paling dekat dengan Jawa dan selalu menjadi tempat tujuan pengungsi perahu yang datang bergelombang dari tempat singgahnya Indonesia.  Darwin, Natal dan Kokos sangat dimungkinkan “bersekutu” untuk memukul Cina dari selatan jika konflik LCS pecah.  Dan jalan untuk memukul itu sudah pasti melewati dan mengacak-acak teritori RI.

RI tentu harus menyikapi suasana dinamis ini dengan mempersiapkan kekuatan militer dan diplomasi politik yang lebih intensif. Oleh sebab itu mulai renstra 2015-2019 sudah harus direncanakan pengadaan armada laut dengan kekuatan KRI berkualfikasi Destroyer dan memperbanyak KRI  kelas Fregat.  Jangan sampai terjadi yang berpatroli di halaman belakang adalah KRI berkualitas KCR.  Bisa-bisa nanti Ratu Kidul mentertawakan kita.  Kondisi saat ini adalah tidak ada pangkalan AL yang berkualifikasi Lantamal di sepanjang selatan pulai Jawa.  Di pantai barat Sumatera hanya tersedia 1 Lantamal yaitu Teluk Bayur.  Dengan pangkalan Darwin dan Kokos maka jalur ALKI 1 (Selat Sunda) dijamin bakal lebih sering dilalui armada kapal perang AS, itu artinya secara militer Jakarta sangat dekat dengan ancaman.  Langit Jakarta berada dalam pengawasan pesawat intai tanpa awak AS.

Kekuatan kapal selam kita perlu ditambah dengan minimal 4 kapal selam kelas Kilo atau yang setara dengannya disamping tetap memperbanyak kapal selam kelas Changbogo.  Kapal selam kelas Kilo atau yang setara dengannnya diperlukan untuk mengawal perairan pantai barat Sumatera, selatan Jawa sampai laut Arafuru.  Demikian juga dengan adanya KRI berkualifikasi Destroyer, ada kekuatan pagar untuk menjaga kawasan laut dalam Indonesia.  Kekuatan udara kita juga harus diperkuat misalnya dengan menempatkan 1 skuadron jet tempur Sukhoi SU35 di pangkalan Suryadharma Subang.  Pangkalan ini sangat strategis untuk mengawal ibukota.  Sudah saatnya pangkalan ini dijadikan pangkalan utama TNI AU seperti Iswahyudi Madiun.  Diantara semua pangkalan udara yang memiliki skuadron tempur di Indonesia hanya Madiun yang terbebas dari penerbangan komersial.  Sekali lagi Lanud Kalijati Subang sangat strategis untuk dijadikan pangkalan jet tempur TNI AU.

AS dan Cina sedang mempersiapkan kekuatan otot militernya, akan tetapi banyak pelanduk yang berada di tengah kedua  raksasa ini.  Walaupun para pelanduk ini berada dalam rumah ASEAN namun polarisasi keberpihakan terasa auranya.  Filipina jelas berkiblat ke AS, demikian juga dengan Thailand dan Singapura walau kadarnya berbeda.  Vietnam benci Cina tapi tidak juga dekat dengan AS, maka Rusia mengambil kesempatan.  Kamboja, Laos dan Myanmar lebih dekat dengan Cina.  Malaysia dan Brunai lebih akrab dengan Inggris. Sedangkan Indonesia dekat dengan AS dekat pula dengan Cina.  Dan dari semua wilayah teritori anggota ASEAN Indonesia adalah yang terbesar dan di pinggir kiri dan kanan teritori itu sedang dipersiapkan adu kekuatan.

Pulau Kokos tidak sekedar dipersiapkan sebagai pusat skuadron pesawat tanpa awak AS untuk memantau gerak militer Cina.  Kalau hanya sekedar ini, Filipina dan Armada ke 7 AS sanggup melaksanakannya.  Letak Filipina jauh lebih dekat dengan LCS, demikian juga dengan Armada ke 7 yang selalu bergerak mendekat LCS.  Prediksi kita Kokos dipersiapkan AS sebagai pangkalan militer AU dan AL setara Guam.  Oleh sebab itu lebih cepat lebih baik kita mempersiapkan kekuatan militer, meneruskan program MEF dalam renstra kedua (2015-2019) dengan menghadirkan kekuatan pukul yang menggentarkan seperti kapal selam kelas Kilo atau yang setara dengannya, KRI destroyer dan jet tempur Sukhoi SU35.  Dengan anggaran 150 trilyun rupiah pada MEF tahap I ini kita sudah, sedang dan akan menghadirkan banyak alutsista baru.  Maka dengan renstra MEF tahap II nanti dengan prediksi anggaran 200 trilyun diniscayakan kita bisa menghadirkan alutsista yang digadang-gadang itu.  Kita bisa kalau kita mau. 

Sumber :Analisis Alutsista TNI

Bedah Buku: Tangan-Tangan Amerika, Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia

Penulis : M. Arief Pranoto, Research Associate GFI

I.  PENDAHULUAN

Buku ini cukup menarik, karena memberikan perspektif baru dalam mencermati sepak-terjang para adidaya terutama Amerika Serikat (AS) selaku negara superpower di muka bumi, sehingga kita mampu meraba kharakter dan kemana arah politik luar negeri yang ditempuh oleh AS selama ini.
Menelaah buku ini, membuat semakin paham garis kebijakan politik Paman Sam yang ternyata tidak jauh dari watak ideologinya. Tujuan utama kaum kapitalis adalah akumulasi modal. Itulah watak dasar kapitalisme yang dianut AS dan para sekutu, dimana ekspresi serta implementasi watak tersebut melalui methode: (1) mencari bahan baku semurah-murahnya, dan (2) mengurai atau menciptakan pasar seluas-luasnya.

Dengan demikian, bila terdapat negara yang “ditarget” menolak membuka pasar atau menyediakan bahan baku murah, maka berbagai kekuatan dengan beragam cara dan modus (operandi) bakal menekan pemimpin negeri tersebut, jika perlu melalui kudeta bahkan perang sekalipun. Tampaknya, hal ini menjadi alasan pokok kenapa politik AS selain agresif ingin menguasai negara-negara lain baik secara politik maupun ekonomi, juga selalu melakukan pertempuran di luar kawasan negaranya sendiri. 

Sebuah literatur bertajuk Killing Hope: US Military and CIA Intervention Since World War II karya William Blum mengungkap, bahwa dalam sejarah perang modern, AS memiliki rekor tertinggi sebagai negara agresor. Blum menyebut, pasca kemerdekaan tahun 1776-an, Amerika aktif melancarkan arus pertempuran militer dan mengobarkan sembilan perang besar. Ada sekitar 200-an kali atau lebih penyerbuan angkatan bersenjata ia ciptakan. Dan terhitung sejak 1977 - 1993 tercatat mengirim serdadu-serdadu guna menyerbu 32-an wilayah di luar negaranya.

Data sekilas perihal agresi militer di atas,  semakin dramatis tatkala Hendrajit dkk mengungkap juga invasi militer AS dan para sekutu ke Afghanistan (2001) dan Iraq (2003) yang hingga kini (2011) belum juga usai. Hanya saja penyerbuan AS dan NATO ke Libya serta intervensi terhadap jajaran Kelompok Negara di Jalur Sutra (Timur Tengah dan Afrika Utara) tidak diungkap, karena memang sewaktu buku dibuat peristiwa tersebut belum terjadi.

Sangat beralasan manakala Hendrajit, Direktur  Eksekutif Global Future Institute (GFI) selaku ketua tim pembuatan buku ini menulis pada pengantarnya, bahwa tujuan penerbitan buku ini ialah:

Pertama, untuk membaca ulang serangkaian kejadian masa silam sebagai sarana  untuk menemukan makna baru dari peristiwa sejarah, sekaligus menarik pelajaran bagi masa depan.

Kedua, buku ini dimaksudkan untuk melakukan rekonstruksi sejarah terkait campur-tangan AS di sejumlah negara periode 1953-2003 di berbagai kawasan.

Ketiga, sebagai kajian hubungan internasional yang memang menjadi fokus utama kegiatan GFI.

Menurut hemat saya, penuangan materi buku ini relatif cerdas dan visioner karena merupakan studi eksploratif yang bersinggungan secara simultan dengan isue-isue strategis skala global di bidang politik luar negeri, ekonomi, politik, geopolitik dan geostrategi serta keamanan nasional suatu bangsa.

Saya katakan cerdas dan visioner, oleh karena selain mengkaji sebab-musabab “nafsu” AS menguasai geopolitik dan geostrategi negara-negara lain, khususnya di dunia ketiga, juga mengungkap fakta pada satu sisi, bahwa tidak sedikit negara-negara sangat mudah digulingkan, seperti Juan Arbenz Guzman, Presiden Guatemala (1954), Mohammad Mossadeq, Perdana Menteri (PM) Iran (1953), dan Salvador Allende, Presiden Chili (1973);  akan tetapi di satu sisi, AS justru menjumpai kendala ketika hendak menjatuhkan Fidel Castro, Presiden Kuba; Ayatullah Khomeini dari Iran dan Hugo Chavez, Presiden Venezuela dan lainnya.

Hikmah yang dapat ditarik melalui bedah buku ini cukup informatif, karena memberi perspektif lain dalam memahami karakteristik dan sepak-terjang AS sebagai negara imperialis, yaitu bahwa suatu negara atau pemerintahan hanya bisa bertahan dan tetap berdiri kokoh manakala para pemimpinnya memiliki pilar-pilar antara lain: (1) legitimasi yang kuat dari rakyatnya, (2) adanya akar dukungan nyata dari rakyat, dan (3) adanya ketahanan nasional/budaya (local wisdom) yang kuat sebagai entitas masyarakat maupun bangsa.

Simpulan Hendrajit dkk menyarankan, bahwa setiap negara seyogyanya memiliki tiga pilar kemandirian berbangsa dan bernegara, atau setidak-tidaknya salah satu di antaranya, syukur-syukur mempunyai kombinasi dari ketiganya, agar negara-negara berkembang bisa bertahan atau bahkan mampu tumbuh dan terus berkembang di tengah-tengah serbuan kaum kapitalis atau imperialis asing dengan berbagai pola dan modus, seperti “perlawanan” yang dilakukan oleh Republik Islam Iran, Bolivia, Venezuela, Kuba dan lainnya. 

II. SISI GELAP KORPORASI GLOBAL DALAM PENGGULINGAN KEKUASAAN PEMERINTAH DI NEGARA-NEGARA BERKEMBANG

Menggusur Arbenz di Guatamela tahun 1954
Aspek yang layak dicermati adalah terungkapnya peran beberapa korporasi milik Amerika di balik kudeta-kudeta kekuasaan beberapa pemimpin negara di dunia ketiga, karena dianggap tak sejalan dengan kepentingan-kepentingan strategisnya di bidang ekonomi dan bisnis. Itulah sisi gelap korporasi global.

Adalah kudeta di Guatamela dekade 1954-an merupakan prakarsa serta peran dari United Fruit Company (UFC) milik AS ketika Pemerintahan Guatamela berhaluan nasionalis kerakyatan di bawah kepemimpinan  Arbenz Guzman. Betapa tidak, Guzman menjadi pemenang dalam pemilu  demokratis pada tahun 1950-an. Ia memiliki rencana-rencana kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial, dimana salah satunya ialah land-reform bertujuan meningkatkan taraf hidup kaum petani miskin di negerinya via program yang dikenal sebagai Decree 900.

Tak bisa dipungkiri, Kebijakan Decree 900 disambut rakyat kalangan bawah secara antusias. Mereka mendukung serta menaruh harapan pada arah kebijakan Arbenz; namun sebaliknya, para elit pemilik tanah menganggap bahwa kebijakan tersebut justru sebagai ancaman serius terhadap kepentingan mereka. Dan agaknya, kegusaran para tuan tanah di Guatemala, “diolah” Washington terutama ketika Arbenz hendak menasionalisasi perusahaan multi-nasional UFC. Inilah yang memicu mengapa Gedung Putih melancarkan operasi menggusur Arbenz. 

Singkat cerita, Arbenz dituduh dan distigma sebagai “antek komunis” lalu dikudeta secara gilang-gemilang dekade 1954-an. Keterlibatan UFC dalam penggulingan Arbenz terlihat pasca kejadian, ketika Menteri Luar Negeri AS, John Foster Dulles beserta adiknya Allen Dulles yang juga Direktur CIA, ternyata memiliki saham dalam perusahaan tersebut. Akhirnya sebagai imbalan, UFC mendapat konsesi penguasaan tanah di Guatemala seluas 150 ribu hektar atau setara dengan 600 km.

Yang menarik lagi tatkala ditelusur sampai akarnya, perusahaan ini, selain milik dari dinasti John D Rockefeller yang bergerak dalam sektor perkebunan pisang dan nanas --dua jenis unggulan komparatif-- di Guatemala, memiliki  dua anak perusahaan yaitu International Railways of Central America dan Empress Electrica, ternyata UFC memiliki reputasi buruk sebab sering mengeksploitasi tenaga kerja, suka “ngemplang” (penggelapan) pajak dan penyuapan.

Dan tragisnya lagi, tahun 1928-an UFC menindas protes buruh yang menuntut kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja hingga mengakibat 2000-an pekerja tewas. Akhirnya, perusahaan yang berdiri pada 1899 ini, pada tahun 1970 berganti nama menjadi United Brands Company –kemungkinan untuk menghilangkan jejak-- setelah sebagian sahamnya dijual kepada Eli M Black.

Melengserkan Mohammad Mossadeq di Iran tahun 1953
Keputusan bersama Inggris-Amerika menggusur Mossadeq bermula ketika PM Iran tersebut mempunyai gagasan untuk melepaskan ketergantungan Iran pada perusahaan-perusahaan minyak asing, termasuk ingin menasionalisasi AIOC, perusahaan patungan antara Inggris-Amerika dan Iran. Sudah barang tentu kebijakan tersebut mendapat dukungan luas dari berbagai elemen strategis di Iran.

Gerakan Mossadeq membuat Inggris marah sehingga beberapa kali ia melakukan blockade pengiriman minyak Amerika ke luar negeri. Hanya saja, pada fase ini Inggris sebatas melakukan boycott dan embargo terhadap Iran. Namun pada perkembangan selanjutnya, Inggris mulai melibatkan AS sehingga akhirnya disepakati persekutuan keduanya (Inggris – AS) untuk menggulingkan Mossadeq. Setelah berhasil digusur pada 1953-an, ia diganti oleh Shah Reza Pahlevi, lalu sebagian tuntutan nasionalisasi yaitu profit sharing 50% : 50% disetujui AOIC yang kala itu sudah tak lagi memegang monopoli eksploitasi dan ekspor minyak Iran.

Agaknya AS berperan besar dalam kesepakatan baru ini, karena setelah itu AOIC diubah menjadi semacam konsorsium yang didalamnya terdapat lima  perusahaan minyak Amerika pemegang saham mayoritas lalu mengendalikan eksploitasi minyak. Meski laporan keuangan konsorsium sulit diketahui publik tetapi aktivitas menyedot minyak dari bumi Iran oleh konsorsium ditengarai telah meraup keuntungan jutaan dolar.

Tetapi pada dekade 1979-an, atau tepatnya 26 tahun pasca Mossadeq jatuh, Shah Reza Pahlevi yang merupakan kaki tangan AS digulingkan melalui revolusi Islam. Dan sejak saat itu, pihak Negara Barat terutama AS dinyatakan sebagai musuh nomor satu bagi bangsa Iran.

Mendongkel Soekarno tahun 1965

Indonesia pun ternyata tidak luput dari operasi siluman Paman Sam setelah Presiden Indonesia pertama memperlihatkan sikap netral dalam Perang Dingin antara AS - Uni Soviet, bahkan hebatnya Soekarno berniat menasionalisasi beberapa perusahaan AS di Indonesia. 

Disini terlihat peran Augustus C. Long, eksekutif Texaco milik D Rockefeller merupakan personifikasi yang terlibat berbagai kepentingan bisnis di Washington dalam skenario mengganti Sukarno dengan presiden baru yang pro Amerika. Singkatnya cerita, secara tiba-tiba Augustus C. Long pada April 1964 pensiun dari Texaco, kemudian untuk beberapa saat memimpin sebuah bank kecil bernama Chemical Bank milik dinasti Rockefeller.

Setelah itu, secara mengejutkan C. Long dilantik oleh Presiden Lyndon B Johnson menjabat Ketua Dewan Penasehat Presiden bidang Intelijen Luar Negeri,  dimana ruang kerjanya bersebelahan dengan Presiden Johnson di Gedung Putih. Dewan Penasehat adalah suatu jabatan strategis yang memungkinkan “perannya” pada masa-masa kritis dekade 1965-an di Indonesia.

Setelah keruntuhan Soekarno pada 1966-an, Long secara mengejutkan diaktifkan kembali sebagai salah satu eksekutif Texaco. Suatu bukti bahwa cuti panjang C. Long sejak 1964 dari Texaco, semata-mata untuk menjalankan “misi khusus” melalui jabatannya sebagai Ketua Dewan Penasehat Presiden untuk Intelijen Luar Negeri.

Hanya dua tahun pasca Sukarno terguling, yaitu tahun 1967, diadakan Indonesian Investment Conference di Swiss yang membagi-bagi sumber daya alam Indonesia untuk dikelola oleh perusahaan-perusahaan asing. Konferensi ini dihadiri para pebisnis besar di dunia, misalnya David Rockefeller, dan para pemilik perusahaan-perusahaan transnasional, seperti General Motors, British Lyeland, ICI, British American Tobacco, Lehman Brothers, American Express, Siemens dan lain-lain. Dan perusahaan pertama yang dibolehkan masuk adalah Freeport milik Dinasti Rockefeller.

Sebagai ilustrasi, sejak 1970-an Freeport telah menghasilkan 7,3 juta ton tembaga dan 724,7 juta ton emas. Dimana prosentasenya adalah 1% untuk negara pemilik tanah (Indonesia) dan 99% untuk AS sebagai negara yang memiliki teknologi pertambangan di Papua. Yang belum banyak terungkap di khalayak melalui berbagai studi berkaitan dengan kejatuhan Presiden Soekarno pada 1965 adalah kepentingan kelompok bisnis di Freeport dan jaringan industri tambang dan emas raksasa Amerika berperan besar dalam hajatan operasi siluman mendongkel kekuasaan Bung Karno.

Menggulingan Allende di Chili tahun 1973

Seperti halnya Arbenz Guzman dan Soekarno, Salvador Allende juga satu haluan dengan kedua tokoh di atas dalam hal ideologi nasionalisme kerakyatan. Hanya saja yang terancam kebijakan populis Allende ialah beberapa korporasi raksasa asal AS seperti Anaconda Copper Mining Company dan Kennecott Utah Copper. Kedua perusahaan ini hingga dekade 1970-an telah mampu menguasai 7 hingga 20 persen Gross Domestic Product di Chili. Maka tak heran jika sejak 1950-an AS berupaya mempertahankan kebijakan pro pasar di Chili.

Akan tetapi secara tak terduga, Allende berhasil memenangi pemilu tahun 1970-an. Dan ia mencanangkan kebijakan Jalan Chili Menuju Sosialisme yang meliputi: nasionalisasi berbagai perusahaan tambang tembaga milik asing termasuk milik AS; lalu menasionalisasi sejumlah bank dan beberapa industri besar; serta land-reform guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. 

Menyikapi kebijakan Allende yang pro rakyat dan sangat membahayakan kepentingan korporasi raksasa, CIA mengatur siasat. Ia menganggarkan dana 8 juta USD untuk menjatuhkan Allende dari kursi kepresidenan. Anggaran berasal dari donasi beberapa korporasi asing termasuk perusahaan ternama International Telephone and Telegraph (ITT), dimana ITT di tahun 1970-an telah menguasai 70 persen perusahaan telkom Chili Chitelco.

Konspirasi antara CIA dan dua perusahaan tambang dan telkom milik AS dalam penggulingan Allende, akhirnya terungkap pada era Bill Clinton menjadi Presiden via sebuah proyek bernama Chili Declassification. Tanpa sengaja, melalui proyek tersebut terkumpul sekitar 16.000-an dokumen terkait keterlibatan CIA, Departemen Luar Negeri, Gedung Putih dan Departemen Pertahanan atas peristiwa kudeta di Chili tahun 1973-an. Yang lebih mengejutkan bahwa operasi CIA dalam penggulingan Allende di Chili ternyata bersandi “Operasi Jakarta”, dimana pola dan methode kudeta disamakan ketika menggulingkan Bung Karno, Presiden RI pertama dahulu. Luar biasa!

Hajatan UNOCAL di Afghanistan 2001  
Bermula pada dekade 1989-an, ketika pasukan Uni Soviet dipaksa mundur dari Afghanistan. Apalagi tatkala Soviet runtuh pada 1991-an, maka beberapa perusahaan minyak milik AS dengan bebas masuk ke Afghanistan seperti Amoco, Arco, British Petroleum, Exxon Mobil, Philips, Texaco, Chevron dan UNOCAL. 

Para korporasi atau perusahan-perusahaan tersebut praktis menguasai setengah dari seluruh investasi migas di kawasan Kaspia. Terutama UNOCAL yang semakin agresif menggandeng perusahaan minyak Delta Oil dari Arab Saudi, Gazprom dari Rusia dan Turkmenrozgas milik Turki. Dan saat itu UNOCAL sempat “bermesraan” dengan Taliban ketika kelompok ini berkuasa di Afghanistan.

Ketika memasuki era 1998-an, agaknya UNOCAL tak lagi sejalan dengan Taliban, namun momentum atau pemicu untuk menggusur Taliban belum ada. Momentum itu muncul tatkala terjadi peristiwa 11 September 2001 di World Trade Centre (911/WTC) di New York yang menghebohkan jagat. Maka dengan dalih teroris, al Qaeda dan lainnya, Taliban digusur dari tampuk kekuasaan di Afghanistan, seiring pula masuknya militer AS dan sekutu bercokol disana, UNOCAL berhasil membangun jalur pipa Trans Afghanistan.

Memburu Saddam Hussein tahun 2003 

Tanpa mengabaikan berbagai faktor yang menjadi dasar bagi Amerika untuk menggulingkan Saddam Hussein, misalnya stigma bahwa Irak menyimpan senjata pemusnah massal yang ternyata tidak terbukti, tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa korporasi raksasa Amerika berada di balik dukungan penggusuran Presiden Negeri 1001 Malam tersebut.

Ceritanya beberapa korporasi raksasa di AS tercatat telah mengucurkan dana yang sangat besar dalam kampanye pemilihan presiden bagi pasangan George Bush dan Dick Cheney. Antara lain adalah Bechtel Group, Fluor Corp, Parson Corp, Lois Berger Group, Washington Group International dan Kello, Brown and Root (KBR). Hal ini tampak jelas ketika invasi militer AS ke Irak telah dinyatakan usai, ada lima perusahaan minyak dari Amerika yang direkrut Presiden Bush guna mendapatkan tender rekonstruksi Irak pasca Saddam, seperti Halliburton Co serta Kellog  Brown and Root.

Harap dicatat bahwa Wakil Presiden Dick Cheney pernah lima tahun hingga tahun 2000-an mengelola Halliburton Co. Selain itu ada perusahaan Bechtel Group dari San Fransisco, Fluor dari Aliso Vejo, California, Lois Berger Group daro East Orange, New Jersey, dan Parsons Group dari Pasadena, California. Ditetapkannya lima korporasi minyak besar tersebut terkait dengan kepentingan AS untuk mengakses sumber minyak mentah di Irak. Ya, sepertinya program rekonstruksi Irak hanya sekedar kedok untuk misi korporasi-korporasi minyak Amerika tersebut. Mereka inilah di balik skema invasi militer AS dan sekutunya ke Irak.

Sekedar informasi, bahwa Irak sebelum di invasi oleh AS dan sekutu memiliki cadangan minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi. Setidaknya pada akhir musim semi 2000 dulu, Amerika telah berhasil memperoleh 800 ribu barel per hari dari Irak. Sudah barang tentu hal ini menempatkan Irak, khususnya di mata AS sebagai cadangan minyak terpenting keenam untuk konsumsi Amerika Utara. Maka menjadi masuk akal jika AS membabi buta menginvasi Irak secara militer dengan berbagai dalih dan stigma.

Kendati kondisi obyektif Irak sebelum invasi militer AS dan sekutunya, ada beberapa perusahaan negara besar lain telah menjalin kontak bisnis dengan Saddam Hussein, seperti Rusia, Eropa dan Cina. Sehingga ketika itu ia tidak memiliki monopoli dalam permainan minyak sejagat. Namun setelah Irak berhasil diinvasi dan Saddam digantung, Bush menghapus semua kontrak antara Irak dengan negara-negara lain. Alhasil, AS merupakan penguasa tunggal dalam penguasaan minyak dan gas di Irak.

III. KESIMPULAN DAN TANGGAPAN

VOC Gaya Baru
Dari sekelumit kisah faktual di atas, tergambar sepak-terjang beberapa korporasi global milik AS dan sekutu dalam penggulingan pemerintahan yang berhaluan nasionalis kerakyatan. 
Terungkap isue menarik yang layak dikaji, bahwa peran penting korporasi global atau sering disebut dengan Mutinational Corporations (MNCs) adalah ujud dari imperialisme gaya baru semodel VOC dulu manakala Belanda menjajah Indonesia tiga abad silam. Hanya dulu rempah-rempah yang diperebutkan sedang kini berubah minyak, emas dan gas alam. Polanya sama. Yakni bertumpu pada arahan dan pengaruh beberapa MNCs dalam proses pengambilan keputusan politik luar negeri yang berwatak imperialistik dan kolonialistik, serta adu domba di internal negeri yang ditarget.

Kata kunci menarik untuk karya Hendrajit dkk dalam mengilustrasikan watak imperialisme AS ialah POLITIK MINYAK SEJAGAT yang secara panjang lebar telah diuraikan pada bagian kedua. Bahkan menariknya lagi, melalui buku ini tersirat kronologis bahwa sejak awal, sejatinya korporasi merupakan cikal bakal atau mungkin merupakan Pemerintahan Siluman itu sendiri di Amerika.

Bagian ketiga buku ini, secara mendalam membedah baik desain politik global AS maupun mengkaji historis-analisis terkait ekspansi dan intervensi politik luar negeri AS semenjak era James Monroe yang berbekal Monroe Doctrin hingga George W. Bush melalui Pre-emtive Strike Doctrin pada periode 2001-2008 bahkan mungkini hingga kini.

Buku ini, selain secara informatif mengulas metode yang diterapkan AS dalam menaklukkan negara-negara yang menjadi target operasi, baik melalui pendekatan militeristik (Hard Power) ala Reagan dan George H. Bush dari sayap Hawkish (garis keras) Partai Republik, maupun via metode Smart Power ala Bill Clinton dan Barrack Obama dari sayap lunak Partai Demokrat, juga memberikan pembelajaran kepada kita tentang analog sebuah pagelaran –misalnya dalam suatu pertunjukan wayang— senantiasa akan ditemui sinergi tiga unsur pokok yang berperan yakni: wayang, dalang dan pemilik hajat.

Di banyak literatur tentang perang dan konflik, entah sifatnya vertikal atau horizontal, baik konflik intrastate maupun interstate, sering mengulas atau menyentuh cuma pada tataran wayang dan dalangnya saja. Menelaah buku ini, kita semakin memahami bahwa ternyata ada pemilik hajatan yang tak tersentuh (untouchable) dimana mereka bukan militer, tidak dari kalangan birokrat, juga bukan politikus, akan tetapi mampu menggerakkan wayang dan dalang. Ya, mereka adalah para pemilik modal yang justru berperan besar, meremot setiap peristiwa dari kejauhan.

Selain substansi, dengan segala kekurangan tulisan seperti ketikan keliru, salah penempatan halaman dan lainnya, sayang sekali buku ini tidak membuat scenario learning dan kiprah AS  ke depan dengan melihat data, trend dan pola-pola selama ini. Buku ini hanya menggambarkan AS di masa lalu.

Namun karya perdana Hendrajit dkk patut diacungi jempol sebab telah memberi kesadaran baru kepada publik, betapa imperialisme ala VOC Belanda berabad-abad silam ternyata masih tetap ada (being), berperan, hidup dan berkembang sesuai tuntutan zaman, cuma beda rupa berbeda warna.  Ya, kelompok elit AS dan para MNCs, sejatinya merupakan pemilik hajat dari penerapan imperialisme kemasan baru atau VOC gaya baru.

Negara Bangkrut, Kontraktor Perang Kaya Raya

Akhirnya terjawab sudah, kenapa AS dan sekutu begitu ngotot ingin terus bertahan di Iraq dan Afghanistan kendati menambah pasukan terus (dalam operasi militer, menambah pasukan atau penebalan artinya banyak yang tewas). Bahwa invisible government yang diawaki pemilik korporasi-korporasi raksasa atau MNCs, sesungguhnya ialah operator bahkan regulator kebijakan politik Paman Sam. Sehingga siapapun presiden di AS, niscaya bakal meneruskan perang di Afghanistan dan di Irak, padahal jelas sangat membebani keuangan negara. Misalnya di zaman George W. Bush, defisit APBN telah mencapai US$ 454,8 milyar gara-gara membiayai perang, sedang pada era Obama justru meningkat mencapai 1 trilyun dolar. Ini sangat bertolak belakang dengan janji Obama dikala kampanye dulu.

Ketika dana negara dihabiskan untuk perang, maka tidak heran bila kini terdapat 40 juta rakyat AS yang hidup di bawah garis kemiskinan dan 10% menjadi pengangguran. Sebaliknya para kaum kapitalis yang menjadi invisible government justru meraup keuntungan dari perang, misalnya penjualan senjata dan pembangunan fasilitas militer, jasa kontraktor tentara bayaran serta konsesi penambangan minyak dan gas bila menang perang, dan lainnya.

Menurut Dina Y. Sulaeman, sejawat Hendrajit di GFI yang juga penulis buku Obama Revealed ini, langkah pertama yang harus dilakukan adalah upaya penyadaran tentang hakikat dan watak politik imperialisme AS sehingga kelak muncul kesadaran publik untuk bangkit dan mampu memilih pemimpin yang independen. Sementara Hendrajit sendiri menyatakan bahwa independensi suatu bangsa di hadapan hegemoni AS bisa diraih melalui tiga komponen (pilar) yaitu: (1) kuatnya independensi pemimpin bangsa, (2) dukungan masyarakat terhadap pemimpin, dan (3) ketahanan nasional.

Iran pasca revolusi bisa dijadikan salah satu rujukan contoh bangsa yang memiliki ketiga pilar tersebut sehingga mampu bertahan tatkala berhadapan ambisi serta hegemoni AS, bahkan sampai sekarang tetap meraih banyak kemajuan di berbagai bidang. Selanjutnya, bila membandingkan antara Iran dan Ibu Pertiwi, bukankah berbagai sumberdaya yang dimiliki oleh Iran ada di Indonesia, tetapi banyak sumber daya (alam) Indonesia tak dipunyai Iran?

Di akhir buku ini dipesankan, selain agresi militer, sesungguhnya ada perang lain yang berlangsung senyap tetapi tetap mematikan, yakni perang ekonomi. Kita sering tidak menyadari bahwa perang senyap juga memiliki daya lebur yang tak kalah mengerikannya dengan perang militer. Jika dibandingkan, perang ekonomi meskipun tidak gegap gempita juga mengabarkan sisi muram pembunuhan manusia lebih menyedihkan. Peperangan dilancarkan untuk menghancurkan musuh tanpa meletuskan peluru sebutir pun. Di tingkat paling ekstrem, perang ekonomi menghasilkan akibat dahsyat tak ubahnya bom nuklir, yakni melemahkan rakyat dan menghancurkan infrastruktur!

Akhirnya saya teringat statement cendikiawan muslim An Nabhani bahwa penjajahan adalah methode baku kapitalis, sedang yang berubah hanya cara dan sarananya saja. Itulah yang kini terjadi. Entah sampai kapan.

AMERIKA BERHUTANG KEPADA INDONESIA ( Memory 1963)

Inilah perjanjian yang paling menggemparkan dunia. Inilah perjanjian yang menyebabkan terbunuhnya Presiden Amerika Serikat John Fitzgerald Kennedy 22 November 1963. Inilah perjanjian yang kemudian menjadi pemicu dijatuhkannya Bung Karno dari kursi kepresidenan oleh jaringan CIA yang menggunakan ambisi Soeharto. Dan inilah perjanjian yang hingga kini tetap menjadi misteri terbesar dalam sejarah ummat manusia. 
Dan, inilah perjanjian yang sering membuat sibuk setiap siapapun yang menjadi Presiden RI. Dan, inilah perjanjian yang membuat sebagian orang tergila-gila menebar uang untuk mendapatkan secuil dari harta ini yang kemudian dikenal sebagai “salah satu” harta Amanah Rakyat dan Bangsa Indonesia. Inilah perjanjian yang oleh masyarakat dunia sebagai Harta Abadi Ummat Manusia. Inilah kemudian yang menjadi sasaran kerja tim rahasia Soeharto menyiksa Soebandrio dkk agar buka mulut. Inilah perjanjian yang membuat Megawati ketika menjadi Presiden RI menagih janji ke Swiss tetapi tidak bisa juga. Padahal Megawati sudah menyampaikan bahwa ia adalah Presiden RI dan ia adalah Putri Bung Karno. Tetapi tetap tidak bisa. Inilah kemudian membuat SBY kemudian membentuk tim rahasia untuk melacak harta ini yang kemudian juga tetap mandul. Semua pihak repot dibuat oleh perjnajian ini.
Perjanjian itu bernama "The Green Hilton Memorial Agreement Geneva". 
Akta termahal di dunia ini diteken oleh John F Kennedy selaku Presiden AS, Ir Soekarno selaku Presiden RI dan William Vouker yang mewakili Swiss. Perjanjian segitiga ini dilakukan di Hotel Hilton Geneva pada 14 November 1963 sebagai kelanjutan dari MOU yang dilakukan tahun 1961. Intinya adalah, Pemerintahan AS mengakui keberadaan emas batangan senilai tak kurang dari 57 ribu ton yang terdiri dari 17 paket emas dan pihak Indonesia menerima batangan emas itu menjadi kolateral bagi dunia keuangan AS yang operasionalisasinya dilakukan oleh Pemerintahan Swiss melalui United Bank of Switzerland (UBS). Kesepakatan ini berlaku tiga tahun kemudian alias 14 November 1965 (gambar di atas hanya salah satu dari sekian lembar perjanjian).
Kendati perjanjian itu mengabaikan pengembaliannya, namun Bung Karno mendapatkan pengakuan bahwa status koloteral tersebut bersifat sewa (leasing). Biaya yang ditetapkan Bung Karno dalam perjanjian  sebesar 2,5% setahun bagi siapa atau bagi negara mana saja yang menggunakannya. Dana pembayaran sewa kolateral ini dibayarkan pada sebuah account khusus atas nama The Heritage Foundation yang pencairannya hanya boleh dilakukan oleh Bung Karno sendiri atas restu yang dimuliakan Sri Paus Vatikan. maka pembayaran fee tersebut tidak bersifat terbuka. Artinya hak kewenangan pencairan fee tersebut tidak berada pada Presiden RI siapapun, tetapi ada pada sistem perbankkan yang sudah dibuat sedemikian rupa, sehingga pencairannya bukan hal mudah, termasuk bagi Presiden AS sendiri. jadi kemungkinan BUNG KARNO tidak memberikan mandat/ amanAh ini kepada para pemimpin RI (setelahnya s/d saat ini) karena dikhawatirkan kelak akan di KORUP.  (wallahuallam), maka yang ditunggu adalah orang yang diberi kewenangan olehnya. Namun sayangnya, ia hanya pernah memberikan kewenangan pada satu orang saja di dunia ini dengan ciri-ciri tertentu. Dan inilah yang oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, bahwa yang dimaksudkan adalah Satria Piningit yang kemudian disakralkan, utamanya oleh masyarakat Jawa. Tetapi kebenaran akan hal ini masih perlu penelitian lebih jauh.
Demikianlah dokumen penting yang penulis baca dan hasil wawancara penulis dengan nara sumber dengan para tetua di dalam negeri dan wawancara dengan narasumber di Belanda, Prancis, Jerman, Singapura, Malaysia dan Hong Kong. 

Bagi AS, perjanjian Green Hilton adalah perjanjian terbodoh bagi AS, karena AS mengakui aset tersebut yang sebetulnya merupakan harta rampasan perang. Menurut dokumen yang penulis baca. Harta tersebut berasal dari sitaan AS ketika menaklukkan Jerman dalam perang dunia. Jerman juga mengakui bahwa harta tersebut disita Jerman ketika menyerang Belanda. Belanda pun mengakui bahwa harta tersebut merupakan rampasan harta yang dilakukan VOC ketika menjajah Indonesia.
Berdasarkan fakta yang dijumpai di lapangan, harta ini sudah pernah mau dicairkan pada 1986-1987 tapi gagal, lalu ada percobaan lagi awal 2000, juga gagal. 
Pihak Turki malah pernah meloby beberapa orang Indonesia untuk dapat membantu mencairkan dana mereka di pada account ini, tetapi tidak berhasil. Para pengusaha kaya dari organisasi Yahudi malah pernah berkeliling Jawa jelang akhir 2008 lalu, untuk mencari siapa yang diberi mandat oleh Bung Karno terhadap account khusus itu. Para tetua ini diberi batas waktu oleh rekan-rekan mereka untuk mencairkan uang tersebut paling lambat Desember 2008. Namun tidak berhasil.
Kini, ketika krisis menerpa AS dan dunia yang hampir membunuh sebagian besar rakyat AS, pemerintah Obama mencoba meyakinkan dunia melalui titah Puas di Vatikan bahwa AS berhak mencairkan harta ini. Atas dasar untuk kepentingan ummat manusia, agaknya hati Vatikan mulai luluh. Konon kabarnya, Vatikan telah memberikan restu itu tanpa mengabaikan bantuan kepada rakyat Indonesia.
Menurut sebuah sumber di Vatikan, ketika Presiden AS menyampaikan niat tersebut kepada Vatikan, Puas sempat bertanya apakah Indonesia telah menyetujuinya. Kabarnya, AS hanya memanfaatkan fakta MOU antara negara G-20 di Inggris dimana Presiden Indonesia SBY ikut menandatangani suatu kesepakatan untuk memberikan otoritas kepada keuangan dunia IMF dan World Bank untuk mencari sumber pendanaan alternatif. Konon kabarnya, Vatikan berpesan agar Indonesia diberi bantuan. Mungkin bantuan IMF sebesar USD 2,7 milyar dalam fasilitas SDR (Special Drawing Rights) kepada Indonesia pertengahan tahun lalu merupakan realisasi dari kesepakatan ini, sehingga ada isyu yang berkembang bahwa bantuan tersebut tidak perlu dikembalikan. Oleh Bank Indonesia memang bantuan IMF sebesar itu dipergunakan untuk memperkuat cadangan devisa negara. Penulis pikir DPR RI harus ikut mengklarifikasi soal status uang bantuan IMF ini.
Kalau benar itu, maka betapa nistanya rakyat Indonesia. Kalau benar itu terjadi betapa bodohnya Pemerintahan kita dalam masalah ini. Kalau ini benar terjadi betapa tak berdayanya bangsa ini, hanya kebagian USD 2,7 milyar. Padahal harta tersebut berharga ribuan trilyun dollar AS. Aset itu bukan aset gratis peninggalan sejarah, aset tersebut merupakan hasil kerja keras nenek moyang kita di era masa keemasan kerajaan di Indonesia. Sebab dulu, beli beras saja pakai balokan emas sebagai alat pembayarannya. Bahkan kerajaan China membeli rempah-rempah ke Indonesia menggunakan balokan emas.
Lalu bagaimana nasib tersebut, kita sebagai bangsa yang besar masih perlu mengkaji lebih lanjut. Pemerintah bersama rakyat perlu membentuk Tim Besar dan lobby yang besar ditingkat internasional untuk menduduk kembali soal harta yang disepakati dalam The Green Hilton Memorial Agreement ini. Karena ini sudah menjadi fakta sejarah yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Pemerintahan SBY tidak bisa melakukan penyelidikan harta ini secara diam-diam dan hanya kalangan terbatas. Sebab harta ini milik rakyat dan bangsa Indonesia. Bukan milik pribadi Bung Karno. Keberhasilan lobby politik Bung Karno yang luar biasa ini harus diteruskan dan jangan dimentahkan begitu saja. 

By: Safari ans (Jurnalistik Indonesia & pendiri IFID (International Fund for Indonesia Development) yang berkantor di Hong Kong.

SOAL UTS SKI KELAS 4 SEMESTER GENAP

KELOMPOK KERJA MADRASAH IBTIDAIYAH ULANGAN TENGAH SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2017/2018 Mata Pelajaran : SKI               ...