Penulis : M. Arief Pranoto, Research Associate GFI
I. PENDAHULUAN
Buku ini cukup menarik, karena memberikan perspektif baru dalam
mencermati sepak-terjang para adidaya terutama Amerika Serikat (AS)
selaku negara superpower di muka bumi, sehingga kita mampu meraba
kharakter dan kemana arah politik luar negeri yang ditempuh oleh AS
selama ini.
Menelaah
buku ini, membuat semakin paham garis kebijakan politik Paman Sam yang
ternyata tidak jauh dari watak ideologinya. Tujuan utama kaum kapitalis
adalah akumulasi modal. Itulah watak dasar kapitalisme yang dianut AS
dan para sekutu, dimana ekspresi serta implementasi watak tersebut
melalui methode: (1) mencari bahan baku semurah-murahnya, dan (2)
mengurai atau menciptakan pasar seluas-luasnya.
Dengan demikian,
bila terdapat negara yang “ditarget” menolak membuka pasar atau
menyediakan bahan baku murah, maka berbagai kekuatan dengan beragam cara
dan modus (operandi) bakal menekan pemimpin negeri tersebut, jika perlu
melalui kudeta bahkan perang sekalipun. Tampaknya, hal ini menjadi
alasan pokok kenapa politik AS selain agresif ingin menguasai
negara-negara lain baik secara politik maupun ekonomi, juga selalu
melakukan pertempuran di luar kawasan negaranya sendiri.
Sebuah literatur bertajuk Killing Hope: US Military and CIA Intervention Since World War II karya
William Blum mengungkap, bahwa dalam sejarah perang modern, AS memiliki
rekor tertinggi sebagai negara agresor. Blum menyebut, pasca
kemerdekaan tahun 1776-an, Amerika aktif melancarkan arus pertempuran
militer dan mengobarkan sembilan perang besar. Ada sekitar 200-an kali
atau lebih penyerbuan angkatan bersenjata ia ciptakan. Dan terhitung
sejak 1977 - 1993 tercatat mengirim serdadu-serdadu guna menyerbu 32-an
wilayah di luar negaranya.
Data sekilas perihal agresi militer di
atas, semakin dramatis tatkala Hendrajit dkk mengungkap juga invasi
militer AS dan para sekutu ke Afghanistan (2001) dan Iraq (2003) yang
hingga kini (2011) belum juga usai. Hanya saja penyerbuan AS dan NATO ke
Libya serta intervensi terhadap jajaran Kelompok Negara di Jalur Sutra
(Timur Tengah dan Afrika Utara) tidak diungkap, karena memang sewaktu
buku dibuat peristiwa tersebut belum terjadi.
Sangat beralasan
manakala Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
selaku ketua tim pembuatan buku ini menulis pada pengantarnya, bahwa
tujuan penerbitan buku ini ialah:
Pertama, untuk membaca
ulang serangkaian kejadian masa silam sebagai sarana untuk menemukan
makna baru dari peristiwa sejarah, sekaligus menarik pelajaran bagi masa
depan.
Kedua, buku ini dimaksudkan untuk melakukan
rekonstruksi sejarah terkait campur-tangan AS di sejumlah negara periode
1953-2003 di berbagai kawasan.
Ketiga, sebagai kajian hubungan internasional yang memang menjadi fokus utama kegiatan GFI.
Menurut
hemat saya, penuangan materi buku ini relatif cerdas dan visioner
karena merupakan studi eksploratif yang bersinggungan secara simultan
dengan isue-isue strategis skala global di bidang politik luar negeri,
ekonomi, politik, geopolitik dan geostrategi serta keamanan nasional
suatu bangsa.
Saya katakan cerdas dan visioner, oleh karena
selain mengkaji sebab-musabab “nafsu” AS menguasai geopolitik dan
geostrategi negara-negara lain, khususnya di dunia ketiga, juga
mengungkap fakta pada satu sisi, bahwa tidak sedikit negara-negara
sangat mudah digulingkan, seperti Juan Arbenz Guzman, Presiden Guatemala
(1954), Mohammad Mossadeq, Perdana Menteri (PM) Iran (1953), dan
Salvador Allende, Presiden Chili (1973); akan tetapi di satu sisi, AS
justru menjumpai kendala ketika hendak menjatuhkan Fidel Castro,
Presiden Kuba; Ayatullah Khomeini dari Iran dan Hugo Chavez, Presiden
Venezuela dan lainnya.
Hikmah yang dapat ditarik melalui bedah
buku ini cukup informatif, karena memberi perspektif lain dalam memahami
karakteristik dan sepak-terjang AS sebagai negara imperialis, yaitu
bahwa suatu negara atau pemerintahan hanya bisa bertahan dan tetap
berdiri kokoh manakala para pemimpinnya memiliki pilar-pilar antara
lain: (1) legitimasi yang kuat dari rakyatnya, (2) adanya akar dukungan
nyata dari rakyat, dan (3) adanya ketahanan nasional/budaya (local
wisdom) yang kuat sebagai entitas masyarakat maupun bangsa.
Simpulan
Hendrajit dkk menyarankan, bahwa setiap negara seyogyanya memiliki tiga
pilar kemandirian berbangsa dan bernegara, atau setidak-tidaknya salah
satu di antaranya, syukur-syukur mempunyai kombinasi dari ketiganya,
agar negara-negara berkembang bisa bertahan atau bahkan mampu tumbuh dan
terus berkembang di tengah-tengah serbuan kaum kapitalis atau
imperialis asing dengan berbagai pola dan modus, seperti “perlawanan”
yang dilakukan oleh Republik Islam Iran, Bolivia, Venezuela, Kuba dan
lainnya.
II. SISI GELAP KORPORASI GLOBAL DALAM PENGGULINGAN KEKUASAAN PEMERINTAH DI NEGARA-NEGARA BERKEMBANG
Menggusur Arbenz di Guatamela tahun 1954
Aspek
yang layak dicermati adalah terungkapnya peran beberapa korporasi milik
Amerika di balik kudeta-kudeta kekuasaan beberapa pemimpin negara di
dunia ketiga, karena dianggap tak sejalan dengan kepentingan-kepentingan
strategisnya di bidang ekonomi dan bisnis. Itulah sisi gelap korporasi
global.
Adalah kudeta di Guatamela dekade 1954-an merupakan
prakarsa serta peran dari United Fruit Company (UFC) milik AS ketika
Pemerintahan Guatamela berhaluan nasionalis kerakyatan di bawah
kepemimpinan Arbenz Guzman. Betapa tidak, Guzman menjadi pemenang dalam
pemilu demokratis pada tahun 1950-an. Ia memiliki rencana-rencana
kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial, dimana salah satunya
ialah land-reform bertujuan meningkatkan taraf hidup kaum petani miskin
di negerinya via program yang dikenal sebagai Decree 900.
Tak
bisa dipungkiri, Kebijakan Decree 900 disambut rakyat kalangan bawah
secara antusias. Mereka mendukung serta menaruh harapan pada arah
kebijakan Arbenz; namun sebaliknya, para elit pemilik tanah menganggap
bahwa kebijakan tersebut justru sebagai ancaman serius terhadap
kepentingan mereka. Dan agaknya, kegusaran para tuan tanah di Guatemala,
“diolah” Washington terutama ketika Arbenz hendak menasionalisasi
perusahaan multi-nasional UFC. Inilah yang memicu mengapa Gedung Putih
melancarkan operasi menggusur Arbenz.
Singkat cerita, Arbenz
dituduh dan distigma sebagai “antek komunis” lalu dikudeta secara
gilang-gemilang dekade 1954-an. Keterlibatan UFC dalam penggulingan
Arbenz terlihat pasca kejadian, ketika Menteri Luar Negeri AS, John
Foster Dulles beserta adiknya Allen Dulles yang juga Direktur CIA,
ternyata memiliki saham dalam perusahaan tersebut. Akhirnya sebagai
imbalan, UFC mendapat konsesi penguasaan tanah di Guatemala seluas 150
ribu hektar atau setara dengan 600 km.
Yang menarik lagi tatkala
ditelusur sampai akarnya, perusahaan ini, selain milik dari dinasti John
D Rockefeller yang bergerak dalam sektor perkebunan pisang dan nanas
--dua jenis unggulan komparatif-- di Guatemala, memiliki dua anak
perusahaan yaitu International Railways of Central America dan Empress
Electrica, ternyata UFC memiliki reputasi buruk sebab sering
mengeksploitasi tenaga kerja, suka “ngemplang” (penggelapan) pajak dan
penyuapan.
Dan tragisnya lagi, tahun 1928-an UFC menindas protes
buruh yang menuntut kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja hingga
mengakibat 2000-an pekerja tewas. Akhirnya, perusahaan yang berdiri pada
1899 ini, pada tahun 1970 berganti nama menjadi United Brands Company
–kemungkinan untuk menghilangkan jejak-- setelah sebagian sahamnya
dijual kepada Eli M Black.
Melengserkan Mohammad Mossadeq di Iran tahun 1953
Keputusan
bersama Inggris-Amerika menggusur Mossadeq bermula ketika PM Iran
tersebut mempunyai gagasan untuk melepaskan ketergantungan Iran pada
perusahaan-perusahaan minyak asing, termasuk ingin menasionalisasi AIOC,
perusahaan patungan antara Inggris-Amerika dan Iran. Sudah barang tentu
kebijakan tersebut mendapat dukungan luas dari berbagai elemen
strategis di Iran.
Gerakan Mossadeq membuat Inggris marah
sehingga beberapa kali ia melakukan blockade pengiriman minyak Amerika
ke luar negeri. Hanya saja, pada fase ini Inggris sebatas melakukan
boycott dan embargo terhadap Iran. Namun pada perkembangan selanjutnya,
Inggris mulai melibatkan AS sehingga akhirnya disepakati persekutuan
keduanya (Inggris – AS) untuk menggulingkan Mossadeq. Setelah berhasil
digusur pada 1953-an, ia diganti oleh Shah Reza Pahlevi, lalu sebagian
tuntutan nasionalisasi yaitu profit sharing 50% : 50% disetujui AOIC
yang kala itu sudah tak lagi memegang monopoli eksploitasi dan ekspor
minyak Iran.
Agaknya AS berperan besar dalam kesepakatan baru
ini, karena setelah itu AOIC diubah menjadi semacam konsorsium yang
didalamnya terdapat lima perusahaan minyak Amerika pemegang saham
mayoritas lalu mengendalikan eksploitasi minyak. Meski laporan keuangan
konsorsium sulit diketahui publik tetapi aktivitas menyedot minyak dari
bumi Iran oleh konsorsium ditengarai telah meraup keuntungan jutaan
dolar.
Tetapi pada dekade 1979-an, atau tepatnya 26 tahun pasca
Mossadeq jatuh, Shah Reza Pahlevi yang merupakan kaki tangan AS
digulingkan melalui revolusi Islam. Dan sejak saat itu, pihak Negara
Barat terutama AS dinyatakan sebagai musuh nomor satu bagi bangsa Iran.
Mendongkel Soekarno tahun 1965
Indonesia
pun ternyata tidak luput dari operasi siluman Paman Sam setelah
Presiden Indonesia pertama memperlihatkan sikap netral dalam Perang
Dingin antara AS - Uni Soviet, bahkan hebatnya Soekarno berniat
menasionalisasi beberapa perusahaan AS di Indonesia.
Disini
terlihat peran Augustus C. Long, eksekutif Texaco milik D Rockefeller
merupakan personifikasi yang terlibat berbagai kepentingan bisnis di
Washington dalam skenario mengganti Sukarno dengan presiden baru yang
pro Amerika. Singkatnya cerita, secara tiba-tiba Augustus C. Long pada
April 1964 pensiun dari Texaco, kemudian untuk beberapa saat memimpin
sebuah bank kecil bernama Chemical Bank milik dinasti Rockefeller.
Setelah
itu, secara mengejutkan C. Long dilantik oleh Presiden Lyndon B Johnson
menjabat Ketua Dewan Penasehat Presiden bidang Intelijen Luar Negeri,
dimana ruang kerjanya bersebelahan dengan Presiden Johnson di Gedung
Putih. Dewan Penasehat adalah suatu jabatan strategis yang memungkinkan
“perannya” pada masa-masa kritis dekade 1965-an di Indonesia.
Setelah
keruntuhan Soekarno pada 1966-an, Long secara mengejutkan diaktifkan
kembali sebagai salah satu eksekutif Texaco. Suatu bukti bahwa cuti
panjang C. Long sejak 1964 dari Texaco, semata-mata untuk menjalankan
“misi khusus” melalui jabatannya sebagai Ketua Dewan Penasehat Presiden
untuk Intelijen Luar Negeri.
Hanya dua tahun pasca Sukarno terguling, yaitu tahun 1967, diadakan Indonesian Investment Conference
di Swiss yang membagi-bagi sumber daya alam Indonesia untuk dikelola
oleh perusahaan-perusahaan asing. Konferensi ini dihadiri para pebisnis
besar di dunia, misalnya David Rockefeller, dan para pemilik
perusahaan-perusahaan transnasional, seperti General Motors, British
Lyeland, ICI, British American Tobacco, Lehman Brothers, American
Express, Siemens dan lain-lain. Dan perusahaan pertama yang dibolehkan
masuk adalah Freeport milik Dinasti Rockefeller.
Sebagai
ilustrasi, sejak 1970-an Freeport telah menghasilkan 7,3 juta ton
tembaga dan 724,7 juta ton emas. Dimana prosentasenya adalah 1% untuk
negara pemilik tanah (Indonesia) dan 99% untuk AS sebagai negara yang
memiliki teknologi pertambangan di Papua. Yang belum banyak terungkap di
khalayak melalui berbagai studi berkaitan dengan kejatuhan Presiden
Soekarno pada 1965 adalah kepentingan kelompok bisnis di Freeport dan
jaringan industri tambang dan emas raksasa Amerika berperan besar dalam
hajatan operasi siluman mendongkel kekuasaan Bung Karno.
Menggulingan Allende di Chili tahun 1973
Seperti
halnya Arbenz Guzman dan Soekarno, Salvador Allende juga satu haluan
dengan kedua tokoh di atas dalam hal ideologi nasionalisme kerakyatan.
Hanya saja yang terancam kebijakan populis Allende ialah beberapa
korporasi raksasa asal AS seperti Anaconda Copper Mining Company dan
Kennecott Utah Copper. Kedua perusahaan ini hingga dekade 1970-an telah
mampu menguasai 7 hingga 20 persen Gross Domestic Product di Chili. Maka
tak heran jika sejak 1950-an AS berupaya mempertahankan kebijakan pro
pasar di Chili.
Akan tetapi secara tak terduga, Allende berhasil
memenangi pemilu tahun 1970-an. Dan ia mencanangkan kebijakan Jalan
Chili Menuju Sosialisme yang meliputi: nasionalisasi berbagai perusahaan
tambang tembaga milik asing termasuk milik AS; lalu menasionalisasi
sejumlah bank dan beberapa industri besar; serta land-reform guna
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Menyikapi kebijakan Allende
yang pro rakyat dan sangat membahayakan kepentingan korporasi raksasa,
CIA mengatur siasat. Ia menganggarkan dana 8 juta USD untuk menjatuhkan
Allende dari kursi kepresidenan. Anggaran berasal dari donasi beberapa
korporasi asing termasuk perusahaan ternama International Telephone and
Telegraph (ITT), dimana ITT di tahun 1970-an telah menguasai 70 persen
perusahaan telkom Chili Chitelco.
Konspirasi antara CIA dan dua
perusahaan tambang dan telkom milik AS dalam penggulingan Allende,
akhirnya terungkap pada era Bill Clinton menjadi Presiden via sebuah
proyek bernama Chili Declassification. Tanpa sengaja, melalui proyek
tersebut terkumpul sekitar 16.000-an dokumen terkait keterlibatan CIA,
Departemen Luar Negeri, Gedung Putih dan Departemen Pertahanan atas
peristiwa kudeta di Chili tahun 1973-an. Yang lebih mengejutkan bahwa
operasi CIA dalam penggulingan Allende di Chili ternyata bersandi
“Operasi Jakarta”, dimana pola dan methode kudeta disamakan ketika
menggulingkan Bung Karno, Presiden RI pertama dahulu. Luar biasa!
Hajatan UNOCAL di Afghanistan 2001
Bermula
pada dekade 1989-an, ketika pasukan Uni Soviet dipaksa mundur dari
Afghanistan. Apalagi tatkala Soviet runtuh pada 1991-an, maka beberapa
perusahaan minyak milik AS dengan bebas masuk ke Afghanistan seperti
Amoco, Arco, British Petroleum, Exxon Mobil, Philips, Texaco, Chevron
dan UNOCAL.
Para korporasi atau perusahan-perusahaan tersebut
praktis menguasai setengah dari seluruh investasi migas di kawasan
Kaspia. Terutama UNOCAL yang semakin agresif menggandeng perusahaan
minyak Delta Oil dari Arab Saudi, Gazprom dari Rusia dan Turkmenrozgas
milik Turki. Dan saat itu UNOCAL sempat “bermesraan” dengan Taliban
ketika kelompok ini berkuasa di Afghanistan.
Ketika memasuki era
1998-an, agaknya UNOCAL tak lagi sejalan dengan Taliban, namun momentum
atau pemicu untuk menggusur Taliban belum ada. Momentum itu muncul
tatkala terjadi peristiwa 11 September 2001 di World Trade Centre
(911/WTC) di New York yang menghebohkan jagat. Maka dengan dalih
teroris, al Qaeda dan lainnya, Taliban digusur dari tampuk kekuasaan di
Afghanistan, seiring pula masuknya militer AS dan sekutu bercokol
disana, UNOCAL berhasil membangun jalur pipa Trans Afghanistan.
Memburu Saddam Hussein tahun 2003
Tanpa
mengabaikan berbagai faktor yang menjadi dasar bagi Amerika untuk
menggulingkan Saddam Hussein, misalnya stigma bahwa Irak menyimpan
senjata pemusnah massal yang ternyata tidak terbukti, tidak bisa
dipungkiri bahwa beberapa korporasi raksasa Amerika berada di balik
dukungan penggusuran Presiden Negeri 1001 Malam tersebut.
Ceritanya
beberapa korporasi raksasa di AS tercatat telah mengucurkan dana yang
sangat besar dalam kampanye pemilihan presiden bagi pasangan George Bush
dan Dick Cheney. Antara lain adalah Bechtel Group, Fluor Corp, Parson
Corp, Lois Berger Group, Washington Group International dan Kello, Brown
and Root (KBR). Hal ini tampak jelas ketika invasi militer AS ke Irak
telah dinyatakan usai, ada lima perusahaan minyak dari Amerika yang
direkrut Presiden Bush guna mendapatkan tender rekonstruksi Irak pasca
Saddam, seperti Halliburton Co serta Kellog Brown and Root.
Harap
dicatat bahwa Wakil Presiden Dick Cheney pernah lima tahun hingga tahun
2000-an mengelola Halliburton Co. Selain itu ada perusahaan Bechtel
Group dari San Fransisco, Fluor dari Aliso Vejo, California, Lois Berger
Group daro East Orange, New Jersey, dan Parsons Group dari Pasadena,
California. Ditetapkannya lima korporasi minyak besar tersebut terkait
dengan kepentingan AS untuk mengakses sumber minyak mentah di Irak. Ya,
sepertinya program rekonstruksi Irak hanya sekedar kedok untuk misi
korporasi-korporasi minyak Amerika tersebut. Mereka inilah di balik
skema invasi militer AS dan sekutunya ke Irak.
Sekedar informasi,
bahwa Irak sebelum di invasi oleh AS dan sekutu memiliki cadangan
minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi. Setidaknya pada akhir musim
semi 2000 dulu, Amerika telah berhasil memperoleh 800 ribu barel per
hari dari Irak. Sudah barang tentu hal ini menempatkan Irak, khususnya
di mata AS sebagai cadangan minyak terpenting keenam untuk konsumsi
Amerika Utara. Maka menjadi masuk akal jika AS membabi buta menginvasi
Irak secara militer dengan berbagai dalih dan stigma.
Kendati
kondisi obyektif Irak sebelum invasi militer AS dan sekutunya, ada
beberapa perusahaan negara besar lain telah menjalin kontak bisnis
dengan Saddam Hussein, seperti Rusia, Eropa dan Cina. Sehingga ketika
itu ia tidak memiliki monopoli dalam permainan minyak sejagat. Namun
setelah Irak berhasil diinvasi dan Saddam digantung, Bush menghapus
semua kontrak antara Irak dengan negara-negara lain. Alhasil, AS
merupakan penguasa tunggal dalam penguasaan minyak dan gas di Irak.
III. KESIMPULAN DAN TANGGAPAN
VOC Gaya Baru
Dari
sekelumit kisah faktual di atas, tergambar sepak-terjang beberapa
korporasi global milik AS dan sekutu dalam penggulingan pemerintahan
yang berhaluan nasionalis kerakyatan.
Terungkap isue menarik yang layak dikaji, bahwa peran penting korporasi global atau sering disebut dengan Mutinational Corporations (MNCs)
adalah ujud dari imperialisme gaya baru semodel VOC dulu manakala
Belanda menjajah Indonesia tiga abad silam. Hanya dulu rempah-rempah
yang diperebutkan sedang kini berubah minyak, emas dan gas alam. Polanya
sama. Yakni bertumpu pada arahan dan pengaruh beberapa MNCs dalam
proses pengambilan keputusan politik luar negeri yang berwatak
imperialistik dan kolonialistik, serta adu domba di internal negeri yang
ditarget.
Kata kunci menarik untuk karya Hendrajit dkk dalam
mengilustrasikan watak imperialisme AS ialah POLITIK MINYAK SEJAGAT yang
secara panjang lebar telah diuraikan pada bagian kedua. Bahkan
menariknya lagi, melalui buku ini tersirat kronologis bahwa sejak awal,
sejatinya korporasi merupakan cikal bakal atau mungkin merupakan
Pemerintahan Siluman itu sendiri di Amerika.
Bagian ketiga buku
ini, secara mendalam membedah baik desain politik global AS maupun
mengkaji historis-analisis terkait ekspansi dan intervensi politik luar
negeri AS semenjak era James Monroe yang berbekal Monroe Doctrin hingga
George W. Bush melalui Pre-emtive Strike Doctrin pada periode 2001-2008
bahkan mungkini hingga kini.
Buku ini, selain secara informatif
mengulas metode yang diterapkan AS dalam menaklukkan negara-negara yang
menjadi target operasi, baik melalui pendekatan militeristik (Hard
Power) ala Reagan dan George H. Bush dari sayap Hawkish (garis keras)
Partai Republik, maupun via metode Smart Power ala Bill Clinton dan
Barrack Obama dari sayap lunak Partai Demokrat, juga memberikan
pembelajaran kepada kita tentang analog sebuah pagelaran –misalnya dalam
suatu pertunjukan wayang— senantiasa akan ditemui sinergi tiga unsur
pokok yang berperan yakni: wayang, dalang dan pemilik hajat.
Di
banyak literatur tentang perang dan konflik, entah sifatnya vertikal
atau horizontal, baik konflik intrastate maupun interstate, sering
mengulas atau menyentuh cuma pada tataran wayang dan dalangnya saja.
Menelaah buku ini, kita semakin memahami bahwa ternyata ada pemilik
hajatan yang tak tersentuh (untouchable) dimana mereka bukan
militer, tidak dari kalangan birokrat, juga bukan politikus, akan tetapi
mampu menggerakkan wayang dan dalang. Ya, mereka adalah para pemilik
modal yang justru berperan besar, meremot setiap peristiwa dari
kejauhan.
Selain substansi, dengan segala kekurangan tulisan
seperti ketikan keliru, salah penempatan halaman dan lainnya, sayang
sekali buku ini tidak membuat scenario learning dan kiprah AS ke depan
dengan melihat data, trend dan pola-pola selama ini. Buku ini hanya
menggambarkan AS di masa lalu.
Namun karya perdana Hendrajit dkk
patut diacungi jempol sebab telah memberi kesadaran baru kepada publik,
betapa imperialisme ala VOC Belanda berabad-abad silam ternyata masih
tetap ada (being), berperan, hidup dan berkembang sesuai tuntutan zaman,
cuma beda rupa berbeda warna. Ya, kelompok elit AS dan para MNCs,
sejatinya merupakan pemilik hajat dari penerapan imperialisme kemasan
baru atau VOC gaya baru.
Negara Bangkrut, Kontraktor Perang Kaya Raya
Akhirnya
terjawab sudah, kenapa AS dan sekutu begitu ngotot ingin terus bertahan
di Iraq dan Afghanistan kendati menambah pasukan terus (dalam operasi
militer, menambah pasukan atau penebalan artinya banyak yang tewas).
Bahwa invisible government yang diawaki pemilik korporasi-korporasi
raksasa atau MNCs, sesungguhnya ialah operator bahkan regulator
kebijakan politik Paman Sam. Sehingga siapapun presiden di AS, niscaya
bakal meneruskan perang di Afghanistan dan di Irak, padahal jelas sangat
membebani keuangan negara. Misalnya di zaman George W. Bush, defisit
APBN telah mencapai US$ 454,8 milyar gara-gara membiayai perang, sedang
pada era Obama justru meningkat mencapai 1 trilyun dolar. Ini sangat
bertolak belakang dengan janji Obama dikala kampanye dulu.
Ketika
dana negara dihabiskan untuk perang, maka tidak heran bila kini
terdapat 40 juta rakyat AS yang hidup di bawah garis kemiskinan dan 10%
menjadi pengangguran. Sebaliknya para kaum kapitalis yang menjadi
invisible government justru meraup keuntungan dari perang, misalnya
penjualan senjata dan pembangunan fasilitas militer, jasa kontraktor
tentara bayaran serta konsesi penambangan minyak dan gas bila menang
perang, dan lainnya.
Menurut Dina Y. Sulaeman, sejawat Hendrajit
di GFI yang juga penulis buku Obama Revealed ini, langkah pertama yang
harus dilakukan adalah upaya penyadaran tentang hakikat dan watak
politik imperialisme AS sehingga kelak muncul kesadaran publik untuk
bangkit dan mampu memilih pemimpin yang independen. Sementara Hendrajit
sendiri menyatakan bahwa independensi suatu bangsa di hadapan hegemoni
AS bisa diraih melalui tiga komponen (pilar) yaitu: (1) kuatnya
independensi pemimpin bangsa, (2) dukungan masyarakat terhadap pemimpin,
dan (3) ketahanan nasional.
Iran pasca revolusi bisa dijadikan
salah satu rujukan contoh bangsa yang memiliki ketiga pilar tersebut
sehingga mampu bertahan tatkala berhadapan ambisi serta hegemoni AS,
bahkan sampai sekarang tetap meraih banyak kemajuan di berbagai bidang.
Selanjutnya, bila membandingkan antara Iran dan Ibu Pertiwi, bukankah
berbagai sumberdaya yang dimiliki oleh Iran ada di Indonesia, tetapi
banyak sumber daya (alam) Indonesia tak dipunyai Iran?
Di akhir
buku ini dipesankan, selain agresi militer, sesungguhnya ada perang lain
yang berlangsung senyap tetapi tetap mematikan, yakni perang ekonomi.
Kita sering tidak menyadari bahwa perang senyap juga memiliki daya lebur
yang tak kalah mengerikannya dengan perang militer. Jika dibandingkan,
perang ekonomi meskipun tidak gegap gempita juga mengabarkan sisi muram
pembunuhan manusia lebih menyedihkan. Peperangan dilancarkan untuk
menghancurkan musuh tanpa meletuskan peluru sebutir pun. Di tingkat
paling ekstrem, perang ekonomi menghasilkan akibat dahsyat tak ubahnya
bom nuklir, yakni melemahkan rakyat dan menghancurkan infrastruktur!
Akhirnya
saya teringat statement cendikiawan muslim An Nabhani bahwa penjajahan
adalah methode baku kapitalis, sedang yang berubah hanya cara dan
sarananya saja. Itulah yang kini terjadi. Entah sampai kapan.