Pada tahun 1932, Bung Karno menulis di koran ‘Suluh Indonesia Muda’
tentang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Katanya, nasionalisme
yang diperjuangkannya sangatlah berbeda dengan nasionalisme di eropa;
dan, bentuk demokrasi yang diperjuangkannya pun berbeda dengan demokrasi
ala eropa.
Soekarno menyebut nasionalisme eropa itu sebagai nasionalisme
borjuis, sedangkan demokrasi di eropa dikatakannya sebagai demokrasi
borjuis. Soekarno lantas mengajukan konsepsi sendiri yang terkenal:
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme adalah
nasionalisme masyarakat, sedang sosio-demokrasi adalah demokrasi
masyarakat.
Menurut Rudi Hartono, aktivis dari Partai Rakyat Demokratik, fikiran
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi sangat mengutamakan masyakat atau
rakyat. Kelak, ketika Bung Karno semakin mematangkan fikirannya
mengenai Indonesia merdeka, gagasan sosio-nasionalisme dan
sosio-demokrasi ini juga mempengaruhi corak ekonomi untuk Indonesia
merdeka.
Versi lain menyebutkan, yang pertama sekali memunculkan istilah
demokrasi ekonomi dan demokrasi politik adalah Mohammad Hatta. Dalam
sebuah tulisan di Daulat Ra’jat tahun 1931, Bung Hatta menulis: “Bagi
kita, rakyat yang utama, rakyat umum yang mempunyai kedaulatan,
kekuasaan (souvereinteit).”
Lalu, pada tahun 1932, Bung Hatta kembali melengkapi gagasannya mengenai kedaulatan rakyat melalui tulisannya yang monumental, Ke Arah Indonesia Merdeka. Di situ Bung Hatta menulis begini: “Asas Kerakyatan mengandung arti, bahwa kedaulatan ada pada rakyat. Segala Hukum (Recht,
peraturan-peraturan negeri) haruslah bersandar pada perasaan Keadilan
dan Kebenaran yang hidup dalam hati rakyat yang banyak, dan aturan
penghidupan haruslah sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau ia
beralasan kedaulatan rakyat.”
Gagasan bahwa Indonesia merdeka harus mendatangkan kemajuan bagi
rakyat juga ditemukan di tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya; kaum
Marxist, Nasionalis, dan Agamais. Tidak heran, dalam rapat-rapat BPUPKI
menjelang kemerdekaan Indonesia, pidato-pidato anggota BPUPKI
menyiratkan ekonomi harus dikelolah oleh negara dan dipergunakan untuk
kemakmuran rakyat.
Mohammad Hatta, yang saat itu menjadi anggota BPUPKI, pada 30 Mei
1945, menyampaikan pidato sangat rinci mengenai dasar perekonomian
Indonesia. Risalah itu diberi judul “Soal Perekonomian Indonesia
Merdeka”. Bung Hatta mengatakan, “perekonomian Indonesia merdeka akan
berdasar pada cita-cita tolong-menolong dan usaha bersama, yang akan
diselenggarakan berangsur-angsur dengan koperasi.”
Hatta juga mengatakan, “perusahaan-perusahaan besar yang mengusai
hajat hidup orang banyak, tempat beribu-ibu orang menggantungkan
nasibnya dan nafkah hidupnya, mestilah dibawah kekuasaan pemerintah.”Lalu, Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, yang dikenang sebagai hari lahirnya Pancasila, menyinggung pula soal demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Katanya, Kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!
“Marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid
ini, yaitu bukan saja persamaan politik, saudara-saudara, tetapi pun di
atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya
kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya,” kata Bung Karno dihadapan
anggota BPUPKI.
Konon, pidato Hatta dan Bung Karno inilah yang mempengaruhi
penyusunan pasal 33 UUD 1945. Meskipun baru berumur sehari, tetapi
republik baru bernama Republik Indonesia ini berhasil menyelesaikan
penyusunan konstitusinya: UUD 1945.>>>
Dalam sebuah symposium di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 1955, Wilopo, yang saat itu menjabat ketua Konstituante, berusaha menafsirkan pasal 33 UUD 1945.
Katanya, azas kekeluargaan dalam pasal 33 UUD 1945 berarti
penentangan keras terhadap liberalisme, sebuah sistim yang, menurutnya,
telah menimbulkan praktik-praktik penghisapan manusia oleh manusia,
kesenjangan ekonomi, dan cenderung menekan kaum buruh.
Istilah usaha bersama, kata Wilopo, mengungkapkan buah fikiran
tentang suatu usaha yang sama sekali berbeda dengan usaha swasta. “Dalam
usaha swasta itu semua keputusan itu ada di tangan pengusaha dan
seluruh kehidupan dan pekerjaan si pekerja ada di tangan majikan. Karena
liberalisme keadaan dalam mana para pekerja umumnya dapat ditekan oleh
keharusan masyarakat, maka kita menentang sistem yang demikian itu.”
Karena itu, menurut Wilopo, kegiatan ekonomi menurut pasal 33 tidak
lagi mengandung logika mencari keuntungan pribadi, melainkan motif untuk
mengabdi kepada masyarakat demi kebaikan bersama.
Menurut Salamuddin Daeng, peneliti dari Institute for Global Justice
(IGJ), pasal 33 UUD 1945 merupakan antitesa terhadap sistim kapitalisme
dan sekaligus terhadap sistim komunisme.
Tetapi Daeng menggaris bawahi bahwa pasal 33 merupakan sistim ekonomi
yang diambil dari tata-cara orang Indonesia sejak dahulu dalam
menjalankan aktivis ekonomi, sehingga, karena itu, tidak dapat
dipisahkan dari ajaran Pancasila.
“Pancasilan itu adalah fondasinya. Jadi kalau mau berbicara mengenai
pengaturan ekonomi, maka mesti mengadu kepada Pancasila sebagai fondasi
berbangsa dan bernegara,” tegasnya saat diskusi mengenai Filosofi
Pancasila di kantor KPP-PRD, Jumat (5/7).
Sayang sekali, baik Pancasila maupun UUD 1945—khususnya pasal
33—tidak pernah dijalankan secara murni dan konsekuen oleh pemerintahan
sejak Indonesia merdeka, terutam sejak orde baru hingga sekarang ini.
Pada tahun 1979, di hari-hari terakhir, ketika memberi sambutan di
ISEI, Bung Hatta menyampaikan kritik pedas terhadap pemerintahan
Soeharto. Bung Hatta dengan nada menyindir berkata: “Pada masa
akhir-akhir ini, negara kita masih berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,
tetapi praktek perekonomian di bawah pengaruh teknokrat kita sekarang
sering menyimpang dari dasar itu … Politik liberal-isme sering dipakai
sebagai pedoman, berbagai barang penting bagi kehidupan rakyat tidak
menjadi monopoli Pemerintah, tetapi di monopoli oleh orang-orang Cina …”
Tentu saja, jika Bung Karno dan Bung Hatta masih hidup, keduanya akan
sangat marah ketika melihat perekonomian kita tunduk pada azas
liberalisme, bahkan liberalisme paling reaksioner: neoliberalisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar