Banyak kalangan yang mengusulkan perlunya membangkitkan nasionalisme.
Berbagai seminar, diskusi, penelitian, dan kegiatan dibuat untuk tujuan
itu. Akan tetapi, seperti kita ketahui, sebagian besar proyek itu
mengalami kegagalan.
Dahulu, di jaman pergerakan anti-kolonialisme, proses pembangkitan
nasionalisme berhasil dilakukan. Maklum, pada jaman itu, rakyat kita
berhadapan dengan musuh yang jelas dan penindasan yang juga sangat
terang.
Namun, bukankah sekarang problem penjajahan juga terang. Para
pengamat, juga politisi dan aktivis, ramai-ramai berbicara tentang
penjajahan gaya baru. Bahkan mantan Presiden RI, BJ Habibie, pernah
menyinggung istilah ‘VOC berbaju baru’. Ya, baju baru kolonialisme
sekarang adalah Neoliberalisme.
Bung Karno, salah seorang motor pergerakan nasional jaman itu,
ternyata punya rumus bagaimana membangkitkan nasionalisme itu. Sebab,
tidak seperti di pikirkan banyak orang, membangkitkan nasionalisme jaman
itu juga bukan perkara gampang; ini membangkitkan nasionalisme rakyat
yang ratusan tahun tertidur.
Bung Karno pun mengajukan tiga rumus:
Pertama, menunjukkan kepada rakyat tentang masa lampau yang gemilang.
Kolonialisme membuat rakyat kita patah harapan. Tidak sedikit yang
menganggap penjajahan sebagai sesuatu yang sudah ‘hukum alam’. Bahkan
tidak sedikit pula yang percaya kolonialisme sebagai proyek
‘memberadabkan’ nusantara.
Karena itu, guna membangkitkan nasionalisme rakyat, Bung Karno
berbicara tentang masa lampau yang gemilang. Ia berbicara tentang masa
keemasan kerajaan-kerajaan nusantara, seperti Sriwijaya, Singasari, dan
Majapahit.
Bung Karno berbicara tentang masa kejayaan nusantara yang diakui oleh
bangsa-bangsa lain, seperti Tiongkok, Persia, dan Madagaskar. Namun,
tidak sedikit yang mencibir sikap Bung Karno ini.
Banyak yang menuding Bung Karno hendak menghidupkan jaman feudal. Tan
Malaka, misalnya, menganggap ‘pengingatan tentang masa lampau yang
gemilang’ sebagai tindakan kolot dan sudah berkarat.
Namun, di mata Bung Karno, ‘pembangkitan masa lampau’ itu bukanlah
menghidupkan jaman feudal, melainkan menunjukkan bahwa nusantara punya
potensi berkembang menjadi bangsa modern. Hanya saja, proses itu
diganggu dan dihentikan oleh kolonialisme, sehingga perkembangan positif
itu terhenti.
Kedua, menyadarkan rakyat tentang keadaan sekarang ini (penjajahan) sebagai jaman kegelapan.
Dalam urusan bongkar-membongkar kejahatan kolonialisme, mungkin Bung
Karno adalah salah seorang ahlinya. Ia banyak sekali menulis karya-karya
yang mengupas imperialisme dan kejahatan-kejahatannya.
Di dalam tulisan-tulisan itu, Bung Karno menyertakan data-data untuk
menyakinkan orang tentang realitas penindasan itu. Ia menulis, misalnya,
berapa kekayaan alam Indonesia yang diangkut oleh kolonialis.
Bung Karno mengatakan: “kesengsaraan itu bukan ‘omong kosong’ atau
‘hasutan kaum penghasut’. Kesengsaraan itu adalah suatu kenyataan atau
realitet yang gampang dibuktikan dengan angka-angka.
Bung Karno juga sangat pandai menggali istilah yang tepat untuk
menggambarkan penderitan rakyat Indonesia. Salah satunya Bung Karno
mengatakan: “rakyat Indonesia hidup segobang sehari (2,5 sen).”
Ketiga, memperlihatkan masa depan yang berseri-seri dan gemilang.
Nah, di sini ada sedikit masalah, sebab tidak ada orang yang bisa
memastikan keadaan masa depan. Paling-paling, kata Bung Karno, orang
hanya bisa memberikan gambaran-gambaran saja.
Kaum marxist pun, kata Bung Karno, akan kesulitan menggambarkan
masyarakat sosialis secara seksama. Paling-paling, kata Bung Karno,
orang marxist menggambarkan kecenderungan-kecenderungan masyarakat
sosialis saja.
Karenanya, yang paling bisa dilakukan cuma menebarkan janji-janji:
kemakmuran, keadilan sosial, demokrasi, kemajuan seni dan budaya, dan
lain-lain. Namun, proses merealisasikan janji-janji itu memerlukan
perjuangan.
Nah, rumus Bung Karno membangkitkan nasionalisme itu bisa diringkas
sebagai berikut: “rakyat Indonesia yang dahulu begitu bersinar-sinar dan
tinggi kebesarannya, meskipun sekarang sudah hampir menjadi bangkai,
rakyat Indonesia itu pasti cukup kekuatan dan cukup kebisaan mendirikan
gedung kebesaran pula kelak di kemudian hari, pasti bisa menaiki lagi
ketinggian tingkat derajatnya yang sediakala, ya, melebihi lagi tingkat
ketinggian itu!”
Bung Karno menunjukkan bahwa masa depan bangsa Indonesia adalah tata
masyarakat adil dan makmur, yaitu sosialisme Indonesia. Akan tetapi,
sebelum menuju ke sana, terlebih dahulu harus dihilangkan
penghalang-penghalangnya: stelsel (sistem) yang menghisap kaum marhaen,
yakni kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Pendek kata,
nasionalisme ala Bung Karno, yang sering disebut sosio-nasionalisme,
bercita-cita menjadikan sosialisme Indonesia sebagai “terminus ad quem” (titik yang dituju).
Dengan demikian, proyek nasionalisme Indonesia adalah proyek jangka
panjang yang disertai perjuangan. Itulah yang membedakannya dengan
proyek nasionalis sekarang: sebuah proyek jangka pendek, yakni sekedar
‘merek dagang’ politik untuk pesta demokrasi lima tahunan.