Sabtu, 12 Mei 2012

Bung Karno Membangkitkan Jiwa Nasionalisme

Banyak kalangan yang mengusulkan perlunya membangkitkan nasionalisme. Berbagai seminar, diskusi, penelitian, dan kegiatan dibuat untuk tujuan itu. Akan tetapi, seperti kita ketahui, sebagian besar proyek itu mengalami kegagalan.
Dahulu, di jaman pergerakan anti-kolonialisme, proses pembangkitan nasionalisme berhasil dilakukan. Maklum, pada jaman itu, rakyat kita berhadapan dengan musuh yang jelas dan penindasan yang juga sangat terang.
Namun, bukankah sekarang problem penjajahan juga terang. Para pengamat, juga politisi dan aktivis, ramai-ramai berbicara tentang penjajahan gaya baru. Bahkan mantan Presiden RI, BJ Habibie, pernah menyinggung istilah ‘VOC berbaju baru’. Ya, baju baru kolonialisme sekarang adalah Neoliberalisme.
Bung Karno, salah seorang motor pergerakan nasional jaman itu, ternyata punya rumus bagaimana membangkitkan nasionalisme itu. Sebab, tidak seperti di pikirkan banyak orang, membangkitkan nasionalisme jaman itu juga bukan perkara gampang; ini membangkitkan nasionalisme rakyat yang ratusan tahun tertidur.
Bung Karno pun mengajukan tiga rumus:
Pertama, menunjukkan kepada rakyat tentang masa lampau yang gemilang.
Kolonialisme membuat rakyat kita patah harapan. Tidak sedikit yang menganggap penjajahan sebagai sesuatu yang sudah ‘hukum alam’. Bahkan tidak sedikit pula yang percaya kolonialisme sebagai proyek ‘memberadabkan’ nusantara.
Karena itu, guna membangkitkan nasionalisme rakyat, Bung Karno berbicara tentang masa lampau yang gemilang. Ia berbicara tentang masa keemasan kerajaan-kerajaan nusantara, seperti Sriwijaya, Singasari, dan Majapahit.
Bung Karno berbicara tentang masa kejayaan nusantara yang diakui oleh bangsa-bangsa lain, seperti Tiongkok, Persia, dan Madagaskar. Namun, tidak sedikit yang mencibir sikap Bung Karno ini.
Banyak yang menuding Bung Karno hendak menghidupkan jaman feudal. Tan Malaka, misalnya, menganggap ‘pengingatan tentang masa lampau yang gemilang’ sebagai tindakan kolot dan sudah berkarat.
Namun, di mata Bung Karno, ‘pembangkitan masa lampau’ itu bukanlah menghidupkan jaman feudal, melainkan menunjukkan bahwa nusantara punya potensi berkembang menjadi bangsa modern. Hanya saja, proses itu diganggu dan dihentikan oleh kolonialisme, sehingga perkembangan positif itu terhenti.
Kedua, menyadarkan rakyat tentang keadaan sekarang ini (penjajahan) sebagai jaman kegelapan.
Dalam urusan bongkar-membongkar kejahatan kolonialisme, mungkin Bung Karno adalah salah seorang ahlinya. Ia banyak sekali menulis karya-karya yang mengupas imperialisme dan kejahatan-kejahatannya.
Di dalam tulisan-tulisan itu, Bung Karno menyertakan data-data untuk menyakinkan orang tentang realitas penindasan itu. Ia menulis, misalnya, berapa kekayaan alam Indonesia yang diangkut oleh kolonialis.
Bung Karno mengatakan: “kesengsaraan itu bukan ‘omong kosong’ atau ‘hasutan kaum penghasut’. Kesengsaraan itu adalah suatu kenyataan atau realitet yang gampang dibuktikan dengan angka-angka.
Bung Karno juga sangat pandai menggali istilah yang tepat untuk menggambarkan penderitan rakyat Indonesia. Salah satunya Bung Karno mengatakan: “rakyat Indonesia hidup segobang sehari (2,5 sen).”
Ketiga, memperlihatkan masa depan yang berseri-seri dan gemilang.
Nah, di sini ada sedikit masalah, sebab tidak ada orang yang bisa memastikan keadaan masa depan. Paling-paling, kata Bung Karno, orang hanya bisa memberikan gambaran-gambaran saja.
Kaum marxist pun, kata Bung Karno, akan kesulitan menggambarkan masyarakat sosialis secara seksama. Paling-paling, kata Bung Karno, orang marxist menggambarkan kecenderungan-kecenderungan masyarakat sosialis saja.
Karenanya, yang paling bisa dilakukan cuma menebarkan janji-janji: kemakmuran, keadilan sosial, demokrasi, kemajuan seni dan budaya, dan lain-lain. Namun, proses merealisasikan janji-janji itu memerlukan perjuangan.
Nah, rumus Bung Karno membangkitkan nasionalisme itu  bisa diringkas sebagai berikut: “rakyat Indonesia yang dahulu begitu bersinar-sinar dan tinggi kebesarannya, meskipun sekarang sudah hampir menjadi bangkai, rakyat Indonesia itu pasti cukup kekuatan dan cukup kebisaan mendirikan gedung kebesaran pula kelak di kemudian hari, pasti bisa menaiki lagi ketinggian tingkat derajatnya yang sediakala, ya, melebihi lagi tingkat ketinggian itu!”
Bung Karno menunjukkan bahwa masa depan bangsa Indonesia adalah tata masyarakat adil dan makmur, yaitu sosialisme Indonesia. Akan tetapi, sebelum menuju ke sana, terlebih dahulu harus dihilangkan penghalang-penghalangnya: stelsel (sistem) yang menghisap kaum marhaen, yakni kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Pendek kata, nasionalisme ala Bung Karno, yang sering disebut sosio-nasionalisme, bercita-cita menjadikan sosialisme Indonesia sebagai “terminus ad quem” (titik yang dituju).
Dengan demikian, proyek nasionalisme Indonesia adalah proyek jangka panjang yang disertai perjuangan. Itulah yang membedakannya dengan proyek nasionalis sekarang: sebuah proyek jangka pendek, yakni sekedar ‘merek dagang’ politik untuk pesta demokrasi lima tahunan.

Filosofi Pasal 33 UUD 1945

Pada tahun 1932, Bung Karno menulis di koran ‘Suluh Indonesia Muda’ tentang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Katanya, nasionalisme yang diperjuangkannya sangatlah berbeda dengan nasionalisme di eropa; dan, bentuk demokrasi yang diperjuangkannya pun berbeda dengan demokrasi ala eropa.
Soekarno menyebut nasionalisme eropa itu sebagai nasionalisme borjuis, sedangkan demokrasi di eropa dikatakannya sebagai demokrasi borjuis. Soekarno lantas mengajukan konsepsi sendiri yang terkenal: sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme masyarakat, sedang sosio-demokrasi adalah demokrasi masyarakat.


Menurut Rudi Hartono, aktivis dari Partai Rakyat Demokratik, fikiran sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi sangat mengutamakan masyakat atau rakyat. Kelak, ketika Bung Karno semakin mematangkan fikirannya mengenai Indonesia merdeka, gagasan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi ini juga mempengaruhi corak ekonomi untuk Indonesia merdeka.
Versi lain menyebutkan, yang pertama sekali memunculkan istilah demokrasi ekonomi dan demokrasi politik adalah Mohammad Hatta. Dalam sebuah tulisan di Daulat Ra’jat tahun 1931, Bung Hatta menulis: “Bagi kita, rakyat yang utama, rakyat umum yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan (souvereinteit).”
Lalu, pada tahun 1932, Bung Hatta kembali melengkapi gagasannya mengenai kedaulatan rakyat melalui tulisannya yang monumental, Ke Arah Indonesia Merdeka. Di situ Bung Hatta menulis begini: “Asas Kerakyatan mengandung arti, bahwa kedaulatan ada pada rakyat. Segala Hukum (Recht, peraturan-peraturan negeri) haruslah bersandar pada perasaan Keadilan dan Kebenaran yang hidup dalam hati rakyat yang banyak, dan aturan penghidupan haruslah sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau ia beralasan kedaulatan rakyat.”
Gagasan bahwa Indonesia merdeka harus mendatangkan kemajuan bagi rakyat juga ditemukan di tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya; kaum Marxist, Nasionalis, dan Agamais. Tidak heran, dalam rapat-rapat BPUPKI menjelang kemerdekaan Indonesia, pidato-pidato anggota BPUPKI menyiratkan ekonomi harus dikelolah oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
Mohammad Hatta, yang saat itu menjadi anggota BPUPKI, pada 30 Mei 1945, menyampaikan pidato sangat rinci mengenai dasar perekonomian Indonesia. Risalah itu diberi judul “Soal Perekonomian Indonesia Merdeka”. Bung Hatta mengatakan, “perekonomian Indonesia merdeka akan berdasar pada cita-cita tolong-menolong dan usaha bersama, yang akan diselenggarakan berangsur-angsur dengan koperasi.”
Hatta juga mengatakan, “perusahaan-perusahaan besar yang mengusai hajat hidup orang banyak, tempat beribu-ibu orang menggantungkan nasibnya dan nafkah hidupnya, mestilah dibawah kekuasaan pemerintah.”
Lalu, Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, yang dikenang sebagai hari lahirnya Pancasila, menyinggung pula soal demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Katanya, Kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!
“Marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya,” kata Bung Karno dihadapan anggota BPUPKI.
Konon, pidato Hatta dan Bung Karno inilah yang mempengaruhi penyusunan pasal 33 UUD 1945. Meskipun baru berumur sehari, tetapi republik baru bernama Republik Indonesia ini berhasil menyelesaikan penyusunan konstitusinya: UUD 1945.
>>>
Dalam sebuah symposium di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 1955, Wilopo, yang saat itu menjabat ketua Konstituante, berusaha menafsirkan pasal 33 UUD 1945.
Katanya, azas kekeluargaan dalam pasal 33 UUD 1945 berarti penentangan keras terhadap liberalisme, sebuah sistim yang, menurutnya, telah menimbulkan praktik-praktik penghisapan manusia oleh manusia, kesenjangan ekonomi, dan cenderung menekan kaum buruh.
Istilah usaha bersama, kata Wilopo, mengungkapkan buah fikiran tentang suatu usaha yang sama sekali berbeda dengan usaha swasta. “Dalam usaha swasta itu semua keputusan itu ada di tangan pengusaha dan seluruh kehidupan dan pekerjaan si pekerja ada di tangan majikan. Karena liberalisme keadaan dalam mana para pekerja umumnya dapat ditekan oleh keharusan masyarakat, maka kita menentang sistem yang demikian itu.”
Karena itu, menurut Wilopo, kegiatan ekonomi menurut pasal 33 tidak lagi mengandung logika mencari keuntungan pribadi, melainkan motif untuk mengabdi kepada masyarakat demi kebaikan bersama.
Menurut Salamuddin Daeng, peneliti dari Institute for Global Justice (IGJ), pasal 33 UUD 1945 merupakan antitesa terhadap sistim kapitalisme dan sekaligus terhadap sistim komunisme.
Tetapi Daeng menggaris bawahi bahwa pasal 33 merupakan sistim ekonomi yang diambil dari tata-cara orang Indonesia sejak dahulu dalam menjalankan aktivis ekonomi, sehingga, karena itu, tidak dapat dipisahkan dari ajaran Pancasila.
“Pancasilan itu adalah fondasinya. Jadi kalau mau berbicara mengenai pengaturan ekonomi, maka mesti mengadu kepada Pancasila sebagai fondasi berbangsa dan bernegara,” tegasnya saat diskusi mengenai Filosofi Pancasila di kantor KPP-PRD, Jumat (5/7).
Sayang sekali, baik Pancasila maupun UUD 1945—khususnya pasal 33—tidak pernah dijalankan secara murni dan konsekuen oleh pemerintahan sejak Indonesia merdeka, terutam sejak orde baru hingga sekarang ini.
Pada tahun 1979, di hari-hari terakhir, ketika memberi sambutan di ISEI, Bung Hatta menyampaikan kritik pedas terhadap pemerintahan Soeharto. Bung Hatta dengan nada menyindir berkata: “Pada masa akhir-akhir ini, negara kita masih berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, tetapi praktek perekonomian di bawah pengaruh teknokrat kita sekarang sering menyimpang dari dasar itu … Politik liberal-isme sering dipakai sebagai pedoman, berbagai barang penting bagi kehidupan rakyat tidak menjadi monopoli Pemerintah, tetapi di monopoli oleh orang-orang Cina …

Tentu saja, jika Bung Karno dan Bung Hatta masih hidup, keduanya akan sangat marah ketika melihat perekonomian kita tunduk pada azas liberalisme, bahkan liberalisme paling reaksioner: neoliberalisme.

Bung Karno dan Peta Dunia (ATLAS)

Pernahkah anda memperhatikan peta dunia?, yang anda lihat pasti posisi Asia di tengah, Asia menjadi centrum dari tata gambar peta. Tahukah anda bahwa seluruh peta dunia yang beredar sekarang, peta dunia yang digantungkan di sekolah-sekolah seluruh dunia, di seluruh kantor resmi negara dan dipelajari anak-anak sekolah adalah pengaruh Bung Karno?
Awalnya setelah KMB 1949, dan penyerahan kedaulatan, Bung Karno berpikir tentang tatanan dunia setelah peperangan Indonesia, keberhasilan Indonesia memperpendek perang dengan Belanda dia meletakkan Indonesia sebagai centrum dari segala centrum gerakan kemerdekaan di Asia dan Amerika Latin. Pemahaman Bung Karno tentang meletakkan Asia sebagai centrum dunia ini dipengaruhi dua orang, yaitu : Tan Malaka dan Ki Ageng Suryomentaram.

Beberapa bulan setelah Proklamasi Agustus 1945, Tan Malaka berhasil dihubungi pemuda-pemuda di Bogor, lalu lewat Maruto Nitimihardjo, Tan Malaka berhasil dibawa ke Djakarta, disana juga telah hadir beberapa orang, setelah pidato Tan Malaka yang terkenal di Cikini atas permintaan mahasiswa Prapatan 10, Tan Malaka bertemu dengan Bung Karno yang diantar dokter pribadinya Suharto ke sebuah rumah lalu dibawa ke kamar gelap tanpa lampu disana Bung Karno dan Tan Malaka berbicara berdua, selama berjam-jam Bung Karno digembleng apa arti kemerdekaan dan meletakkan Indonesia dalam peradaban dunia. Bung Karno paham. Tapi kemudian Tan Malaka terseret arus gerakan yang lain dan berpisah jarak dengan Bung Karno.

Di bulan Maret 1950 Bung Karno kedatangan tamu dari Yogyakarta bernama Ki Ageng Suryo Mentaram, Ki Ageng Suryo Mentaram adalah anak dari Sultan Hamengkubuwono VIII yang telah meminta berhenti sebagai Pangeran dan menjalani kehidupan sebagai ahli kebatinan. Ia seorang pangeran yang unik, tapi brilian dalam memahami kehidupan, dia juga adalah orang yang mempengaruhi Bung Karno tentang konsep kemanusiaan dan kebangsaan, serta konsep harga diri sebagai manusia. Pada tahun 1938 sebelum kekalahan Belanda dengan Jepang di tahun 1942, ia diam-diam menyusun kekuatan militer dengan melatih silat ratusan pemuda lalu sempat digerebek rumahnya oleh PID, Intel Hindia Belanda dan diseret ke penjara tapi kemudian Sultan HB VIII turun tangan menyelamatkan adiknya itu dengan uang jaminan, Ki Ageng menyadari 'waktunya sudah dekat' untuk Belanda pergi dari Indonesia dan di tahun 1942 sebelum lembaga Putera (Pusat Tenaga Rakyat) terbentuk dimana Bung Karno, Hadji Mas Mansjur, Hatta dan Ki Hadjar Dewantoro jadi pemangkunya, mengunjungi Ki Ageng Suryomentaram untuk meminta doa restu, sekaligus disana dinasihati agar Putera segera membentuk pertahanan militer. "Kehormatan manusia terletak pada keberaniannya, keberanian-lah yang membuat manusia ada" kata Ki Ageng Suryomentaram kepada Bung Karno. Pada pertemuan Ki Ageng Suryomentaram di Istana Merdeka, Ki Ageng berpesan pada Bung Karno agar untuk menjadi bangsa terhormat, maka 'sadarilah diri kita ada'. Pesan Ki Ageng Suryomentaram inilah yang kemudian diresapi Bung Karno. Dan atas dasar Ki Ageng Suryomentaram didirikanlah PETA (Pembela Tanah Air) walaupun di buku-buku sejarah sering disebut Gatot Mangkoepradja menuliskan dengan jempol darah untuk meminta Jepang mendirikan Tentara Rakyat (PETA).

Setelah kepulangan Ki Ageng Suryomentaram Bung Karno berpikir dalam-dalam tentang Indonesia, kenapa Indonesia selalu tersingkir, kenapa Indonesia bangsa yang besar ini 'seolah-olah tak ada di mata dunia'. Lalu Bung Karno duduk lama di perpustakaannya di Istana dan bergelut dengan puluhan buku, kebiasaan Bung Karno adalah ketika ia sudah mendapatkan ide tentang memikirkan sesuatu maka ia memerintahkan beberapa orang pegawai Istana mencari buku-buku dengan judul yang dimaksud, lalu buku-buku itu dibentangkan halamannya, jarang bagi Bung Karno menyelesaikan satu buku, sekali ia baca buku ia bisa membaca sepuluh buku, ia dengan cepat membaca struktur, menarik substansi daripada isi, lalu mencoret-coret isi tersebut disamping buku, notes-notes ini yang kemudian jadi pokok pikiran Bung Karno, inilah bedanya Bung Karno dengan Hatta yang bersih dari coretan dan Hatta selalu berdisiplin menyelesaikan satu buku yang dibacanya dengan rinci, tak boleh satu halaman-pun lecek, Hatta adalah pecinta fanatik buku, sementara Bung Karno lebih kepada perusak buku dan senang mengacak-acaknya, yang penting baginya substansi pemikiran sebuah buku ketemu.

Saat itu yang ia pikirkan adalah 'Rahasia dibalik hilangnya Indonesia dari peradaban', Bung Karno membuka catatan-catatan sejarah masa lalu Indonesia, ia membaca History of Java yang kemudian dihubungkan dengan buku Revolusi Perancis lalu ia meloncat ke buku tentang Geopolitik Karl Haushofer, ia meloncat lagi ke buku filsafat eksistensialisme dari berbagai macam buku akhirnya bertemu pada satu titik : "Keberadaan ditentukan oleh Perhatian, Keberadaan ditentukan oleh kesadaran 'bahwa saya ada'..." ketika Bung Karno sampai pada kesimpulan tersebut lalu matanya menumpu pada Peta yang menggantung di perpustakaan Istana. Ia tercekat 'dimanakah Indonesia?' kemudian ia berdiri dari tempat duduknya dan mendekat ke peta, 'Atlas ini tidak menempatkan Indonesia sebagai bagian utuh dunia, Indonesia hanya digambarkan garis-garis kecil. Kemudian ia teringat Tan Malaka dan Ki Ageng Suryomentaram tentang hakikat 'keberadaan'.

Sebelum tahun 1900, pusat atlas dari dunia adalah Eropa, barulah pada tahun 1910-an, Amerika Serikat membuat atlas resmi yang menjadikan benua Amerika sebagai pusat Atlas. Seluruh Atlas dunia tidak menempatkan Asia sebagai pusat dunia. Bung Karno di tahun 1935 sudah meramalkan pusat dari dunia adalah Asia, lalu di masa masa Revolusi, Bung Karno sering mengobarkan pidato 'Kelak dunia berpusat di Asia, seluruh dunia akan datang bangsa-bangsa Asia, untuk itu kita harus merdeka' dan Indonesia adalah salah satu bangsa pertama yang merebut kemerdekaannya. Bung Karno melakukan hitung-hitungan bahwa Indonesia akan menjadi bangsa terkuat di Asia setelah melakukan penetrasi terhadap geopolitik dunia, namun untuk pertama-tama sebelum masuk pada penetrasi geopolitik, Bung Karno ingin dunia sadar bahwa Indonesia ada, dan Bung Karno berpikir bagaimana meletakkan Asia dan Indonesia sebagai pusat dunia dalam atlas.

Setelah merenung bermalam-malam tentang soal menyadarkan dunia bahwa 'Indonesia ada', akhirnya Bung Karno berpikir untuk membuat peta dunia. Suatu pagi Bung Karno mengundang sarapan Muhammad Yamin dan beberapa orang, Bung Karno senang sekali dengan M Yamin, jika Yamin bercerita soal kehebatan masa lalu Jawa di tengah bangsa-bangsa di dunia, walaupun harus diuji kebenaran fakta sejarah, tapi Yamin berhasil membuat definisi soal wawasan geopolitik Gadjah Mada dan jaringan Nusantara yang membentuk geopolitik keIndonesiaan. "Yamin, aku ingin membuat Peta dimana Asia dibuat jadi centris-nya, dimana Indonesia dengan 'gagah' berada di tengah-tengah bangsa di dunia". Yamin langsung menyambar :"Coba saja panggil Pak Djamalludin, mungkin dia bisa" yang dimaksud Djamaluddin adalah Adinegoro, seorang jurnalis Indonesia terkemuka pada tahun 1920-an.

Djamaluddin yang punya nama pena Adinegoro itu, merupakan orang Indonesia pertama yang belajar soal Jurnalistik secara khusus, ia belajar langsung ke Jerman, disana ia berguru dengan Professor E. Dofivat. Ketika belajar di Jerman ini juga Adinegoro bergabung dengan perkumpulan yang bernama Asiatische Verein, persatuan Asia, sebuah embrio gerakan besar yang menyadarkan kebesaran Asia ditengah-tengah dunia yang sedang bergolak. Saat Adinegoro belajar di Jerman juga ia menekuni dengan jeli buku Karl Haushofer yang berjudul : Geopolitik Des Pasifischen Ozeans. Dalam buku Politik Lautan Teduh diramalkan bahwa bangsa Melayu (Indonesia) akan jadi bangsa Merdeka dan menjadi bangsa maritim terkuat di dunia. Kesadaran ini juga yang terus mendorong Adinegoro untuk menekuni sejarah geopolitik dan kerap menulis tentang laporang Perang Dunia yang meletus di tahun 1939 sampai dengan tahun 1945.

Rupanya pemikiran Bung Karno dan Djamaluddin Adinegoro satu ordinat, mereka terus berdiskusi soal Kartografi yang intinya meletakkan Asia ditengah-tengah. Bung Karno berkata "Pak Adinegoro, saya paham Asia akan jadi pusat dunia, dan saya akan mengarahkan Indonesia jadi bangsa terkuat di Asia, Indonesia yang menyumbangkan bagi peradaban dunia, Indonesia menjadi bangsa yang mampu menciptakan kesejahteraan dunia, pusat budaya, pusat Ilmu Pengetahuan, itu obsesiku, lalu dengan meletakkan Indonesia ke dalam titik sentral Asia, dan menjadi Asia sebagai pusat dunia adalah fase awal dalam membentuk kesadaran 'bahwa kita ada'.

Itulah pesan Bung Karno pada Adinegoro, lalu Adinegoro mengajak kawannya Adam Bachtiar untuk menyusun Atlas dengan Asia sebagai pusatnya, pada tahun 1952 peta itu selesai dan diserahkan pada Bung Karno, penerbit Peta itu adalah Penerbitan 'Djambatan Amsterdam' yang kemudian namanya menjadi singkat saja 'Penerbit Djambatan'. Bung Karno memerintahkan Peta terbitan Djambatan itu digunakan resmi di sekolah-sekolah, kantor negara dan umum. Lalu peta itu menyebar, setelah pamor Bung Karno naik di Konferensi Asia Afrika, Peta versi Djambatan ini ditiru banyak bangsa di dunia.

Sejak itulah peta yang menggunakan Asia sebagai pusatnya paling banyak digunakan diseluruh dunia, Peta versi Penerbit Djambaran. Hanya Amerika Serikat yang masih menggunakan Peta dengan menempatkan Amerika Serikat sebagai pusat dunia, lain negara menggunakan peta yang hampir persis dengan penerbit Djambatan ini.

Inilah peran Bung Karno di masa lalu, inilah mimpi bangsaku di masa lalu, dan ketika di hari-hari ini Indonesia dipertontonkan oleh para politisi maling di Pengadilan, mereka yang maling dan berdebat di televisi-televisi, betapa malunya kita kalau kita sadar sejarah, bahwa bangsa Indonesia dibentuk oleh manusia-manusia bervisi raksasa, idealisme dan besar kemudian diperintah dan dipimpin sebarisan maling yang saling berdebat memamerkan kepandaian mereka mencuri uang negara di depan mata rakyat, seraya rakyatnya kelaparan dan BBM dinaikkan tanpa pembelaan negara berjuang memberikan subsidi.........

Jadi jika anda melihat TV tentang suguhan berita berita yang dipamerkan saat ini (korupsi), segera palingkanlah mata anda ke Atlas dunia, disitulah kita pernah punya mimpi Indonesia sebagai bangsa besar.

"Jangan Dengarkan Asing..!!"

Itulah yang diucapkan Bung Karno di tahun 1957 saat ia mulai melakukan aksi atas politik kedaulatan modal. Aksi kedaulatan modal adalah sebuah bentuk politik baru yang ditawarkan Sukarno sebagai alternatif ekonomi dunia yang saling menghormati, sebuah dunia yang saling menyadari keberadaan masing-masing, sebuah dunia co-operasi, "Elu ada, gue ada" kata Bung Karno saat berpidato dengan dialek betawi di depan para mahasiswa sepulangnya dari Amerika Serikat.
Pada tahun 1957, perlombaan pengaruh kekuasaan meningkat antara Sovjet Uni dan Amerika Serikat, Sovjet Uni sudah berani masuk ke Asia pasca meninggalnya Stalin, sementara Mao sudah ambil ancang-ancang untuk menguasai seluruh wilayah perbatasan Sovjet Uni dengan RRC di utara Peking. Bung Karno sudah menebak Amerika Serikat dan Sovjet Uni pasti akan rebutan Asia Tenggara. "Dulu Jepang ngebom Pearl Harbour itu tujuannya untuk menguasai Tarakan, untuk menguasai sumber-sumber minyak, jadi sejak lama Indonesia akan jadi pertaruhan untuk penguasaan di wilayah Asia Pasifik, kemerdekaan Indonesia bukan saja soal kemerdekaan politiek, tapi soal bagaimana menjadiken manusia yang didalamnya hidup terhormat dan terjamin kesejahteraannya" kata Bung Karno saat menerima beberapa pembantunya sesaat setelah pengunduran Hatta menjadi Wakil Presiden RI tahun 1956. Saat itu Indonesia merobek-robek perjanjian KMB didorong oleh kelompok Murba, Bung Karno berani menuntut pada dunia Internasional untuk mendesak Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia "Kalau Belanda mau perang, kita jawab dengan perang" teriak Bung Karno saat memerintahkan Subandrio untuk melobi beberapa negara barat seperti Inggris dan Amerika Serikat.

"Gerak adalah sumber kehidupan, dan gerak yang dibutuhkan di dunia ini bergantung pada energi, siapa yang menguasai energi dialah pemenang" Ambisi terbesar Sukarno adalah menjadikan energi sebagai puncak kedaulatan bangsa Indonesia, pada peresmian pembelian kapal tanker oleh Ibnu Sutowo sekitar tahun 1960, Bung Karno berkata "Dunia akan bertekuk lutut kepada siapa yang punya minyak, heee....joullie (kalian =bahasa belanda) tau siapa yang punya minyak paling banyak, siapa yang punya penduduk paling banyak...inilah bangsa Indonesia, Indonesia punya minyak, punya pasar. Jadi minyak itu dikuasai penuh oleh orang Indonesia untuk orang Indonesia, lalu dari minyak kita ciptaken pasar-pasar dimana orang Indonesia menciptaken kemakmurannya sendiri".

Jelas langkah Sukarno tak disukai Amerika Serikat, tapi Moskow cenderung setuju pada Sukarno, ketimbang harus perang di Asia Tenggara dengan Amerika Serikat, Moskow memutuskan bersekutu dengan Sukarno, tapi perpecahan Moskow dengan Peking bikin bingung Sukarno. Akhirnya Sukarno memutuskan maju terus tampa Moskow, tampa Peking untuk berhadapan dengan kolonialis barat.

Di tahun 1960, Sukarno bikin gempar perusahaan minyak asing, dia panggil Djuanda, dan suruh bikin susunan soal konsesi minyak "Kamu tau, sejak 1932 aku berpidato di depan Landraad soal modal asing ini? soal bagaimana perkebunan-perkebunan itu dikuasai mereka, jadi Indonesia ini tidak hanya berhadapan dengan kolonialisme tapi berhadapan dengan modal asing yang memperbudak bangsa Indonesia, saya ingin modal asing ini dihentiken, dihancurleburken dengan kekuatan rakyat, kekuatan bangsa sendiri, bangsaku harus bisa maju, harus berdaulat di segala bidang, apalagi minyak kita punya, coba kau susun sebuah regulasi agar bangsa ini merdeka dalam pengelolaan minyak" urai Sukarno di depan Djuanda.

Lalu tak lama kemudian Djuanda menyusun surat yang kemudian ditandangani Sukarno. Surat itu kemudian dikenal UU No. 44/tahun 1960. isi dari UU itu amat luar biasa dan memukul MNC (Multi National Corporation). "Seluruh Minyak dan Gas Alam dilakukan negara atau perusahaan negara". Inilah yang kemudian menjadi titik pangkal kebencian kaum pemodal asing pada Sukarno, Sukarno jadi sasaran pembunuhan dan orang yang paling diincar bunuh nomor satu di Asia. Tapi Sukarno tak gentar, di sebuah pertemuan para Jenderal-Jenderalnya Sukarno berkata "Buat apa memerdekakan bangsaku, bila bangsaku hanya tetap jadi budak bagi asing, jangan dengarken asing, jangan mau dicekoki Keynes, Indonesia untuk bangsa Indonesia". Ketika laporan intelijen melapori bahwa Sukarno tidak disukai atas UU No. 44 tahun 1960 itu Sukarno malah memerintahkan ajudannya untuk membawa paksa seluruh direktur perusahaan asing ke Istana. Mereka takut pada ancaman Sukarno. Dan diam ketakutan.

Pada hari Senin, 14 Januari 1963 pemimpin tiga perusahaan besar datang lagi ke Istana, mereka dari perusahaan Stanvac, Caltex dan Shell. Mereka meminta Sukarno membatalkan UU No.40 tahun 1960. UU lama sebelum tahun 1960 disebut sebagai "Let Alone Agreement" yang memustahilkan Indonesia menasionalisasi perusahaan asing, ditangan Sukarno perjanjian itu diubah agar ada celah bila asing macam-macam dan tidak memberiken kemakmuran pada bangsa Indonesia atas investasinya di Indonesia maka perusahaannya dinasionalisasikan. Para boss perusahaan minyak itu meminta Sukarno untuk mengubah keputusannya, tapi inilah jawaban Sukarno "Undang-Undang itu aku buat untuk membekukan UU lama dimana UU lama merupaken sebuah fait accomply atas keputusan energi yang tidak bisa menasionalisasikan perusahaan asing. UU 1960 itu kubuat agar mereka tau, bahwa mereka bekerja di negeri ini harus membagi hasil yang adil kepada bangsaku, bangsa Indonesia" mereka masih ngeyel juga, tapi bukan Bung Karno namanya ketika didesak bule dia malah meradang, sambil memukul meja dan mengetuk-ngetukkan tongkat komando-nya lalu mengarahkan telunjuk kepada bule-bule itu Sukarno berkata dengan suara keras :"Aku kasih waktu pada kalian beberapa hari untuk berpikir, kalau tidak mau aku berikan konsesi ini pada pihak lain negara..!" waktu itu ambisi terbesar Sukarno adalah menjadikan Permina (sekarang Pertamina) menjadi perusahaan terbesar minyak di dunia, Sukarno butuh investasi yang besar untuk mengembangkan Permina. Caltex disuruh menyerahkan 53% hasil minyaknya ke Permina untuk disuling, Caltex diperintahkan memberikan fasilitas pemasaran dan distribusi kepada pemerintah, dan menyerahkan modal dalam bentuk dollar untuk menyuplai kebutuhan investasi jangka panjang pada Permina.

Bung Karno tidak berhenti begitu saja, ia juga menggempur Belanda di Irian Barat dan mempermainkan Amerika Serikat, Sukarno tau apabila Irian Barat lepas maka Biak akan dijadikan pangkalan militer terbesar di Asia Pasifik, dan ini mengancam kedaulatan bangsa Indonesia yang baru tumbuh. Kemenangan atas Irian Barat merupakan kemenangan atas kedaulatan modal terbesar Indonesia, di barat Indonesia punya lumbung minyak yang berada di Sumatera, Jawa dan Kalimantan sementara di Irian Barat ada gas dan emas. Indonesia bersiap menjadi negara paling kuat di Asia. Hitung-hitungan Sukarno di tahun 1975 akan terjadi booming minyak dunia, di tahun itulah Indonesia akan menjadi negara yang paling maju di Asia , maka obesesi terbesar Sukarno adalah membangun Permina sebagai perusahaan konglomerasi yang mengatalisator perusahaan-perusahaan negara lainnya di dalam struktur modal nasional. Modal Nasional inilah yang kemudian bisa dijadikan alat untuk mengakuisisi ekonomi dunia, di kalangan penggede saat itu struktur modal itu diberi kode namanya sebagai 'Dana Revolusi Sukarno". Kelak empat puluh tahun kemudian banyak negara-negara kaya seperti Dubai, Arab Saudi, Cina dan Singapura menggunakan struktur modal nasional dan membentuk apa yang dinamakan Sovereign Wealth Fund (SWF) sebuah struktur modal nasional yang digunakan untuk mengakuisisi banyak perusahaan di negara asing, salah satunya apa yang dilakukan Temasek dengan menguasai saham Indosat.

Sukarno sangat perhatian dengan seluruh tambang minyak di Indonesia, di satu sudut Istana samping perpustakaannya ia memiliki maket khusus yang menggambarkan posisi perusahaan minyak Indonesia, suatu hari saat Bung Karno kedatangan Brigjen Sumitro, yang disuruh Letjen Yani untuk menggantikan Brigjen Hario Ketjik menjadi Panglima Kalimantan Timur, Sukarno sedang berada di ruang khusus itu, lalu ia keluar menemui Sumitro yang diantar Yani untuk sarapan dengan Bung Karno, saat sarapan dengan roti cane dengan madu dan beberapa obat untuk penyakit ginjal dan diabetesnya, Sukarno berkata singkat pada Sumitro : "Generaal Sumitro saya titip rafinerij (rafineij = tambang dalam bahasa Belanda) di Kalimantan, kamu jaga baik-baik" begitu perhatiannya Sukarno pada politik minyak.

Kelabakan dengan keberhasilan Sukarno menguasai Irian Barat, Inggris memprovokasi Sukarno untuk main di Asia Tenggara dan memancing Sukarno agar ia dituduh sebagai negara agresor dengan mengakuisisi Kalimantan. Mainan lama ini kemudian juga dilakukan dengan memancing Saddam Hussein untuk mengakuisisi Kuwait sehingga melegitimasi penyerbuan pasukan Internasional ke Baghdad. Sukarno panas dengan tingkah laku Malaysia, negara kecil yang tak tau malu untuk dijadikan alat kolonialisme, namun Sukarno juga terpancing karena bagaimanapun armada tempur Indonesia yang diborong lewat agenda perang Irian Barat menganggur. Sukarno ingin mengetest Malaysia.

Tapi sial bagi Sukarno, ia justru digebuk Jenderalnya sendiri. Sukarno akhirnya masuk perangkap Gestapu 1965, ia disiksa dan kemudian mati mengenaskan, Sukarno adalah seorang pemimpi, yang ingin menjadikan bangsanya kaya raya itu dibunuh oleh konspirasi. Dan sepeninggal Sukarno bangsa ini sepenuhnya diambil alih oleh modal asing, tak ada lagi kedaulatannya dan tak ada lagi kehormatannya.

Sukarno menciptakan landasan politik kepemilikan modal minyak, inilah yang harus diperjuangkan oleh generasi muda Indonesia, kalian harus berdaulat dalam modal, bangsa yang berdaulat dalam modal adalah bangsa yang berdaulat dalam ekonomi dan kebudayaannya, ia menciptakan masyarakat yang tumbuh dengan cara yang sehat.

Bung Karno tidak mengeluh dalam berpidato didepan publik, tapi ia menantang, ia menumbuhkan keberanian pada setiap orang Indonesia, ia menumbuhkan kesadaran bahwa manusia Indonesia berhak atas kedaulatan energinya. Andai Indonesia berdaulat energinya, Pertamina menjadi perusahaan minyak terbesar di dunia dan menjadi perusahaan modal yang mengakusisi banyak perusahaan di dunia maka minyak Indonesia tak akan semahal sekarang, rakyat yang dicekik terus menerus.

"Salam Revolusi".

SOAL UTS SKI KELAS 4 SEMESTER GENAP

KELOMPOK KERJA MADRASAH IBTIDAIYAH ULANGAN TENGAH SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2017/2018 Mata Pelajaran : SKI               ...